Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengultimatum operator Blok Masela, Inpex Masela Ltd. untuk segera melakukan persiapan produksi lapangan gas di Laut Arafura itu.
Bahlil mewanti-wanti bahwa pemerintah tak segan untuk mengevaluasi hak konsesi atas Blok Masela, bila produksi gas tak juga segera dilakukan. Pasalnya, proyek strategis nasional (PSN) itu mangkrak selama 26 tahun terakhir. Sejak diberikan hak konsesi pada 1998, Inpex tak kunjung melakukan produksi Blok Masela.
"Barang ini sudah dipegang konsesinya, nggak dijalankan. Aku sudah bilang, sudah bikin surat, 'Kamu [operator] tahun ini nggak melakukan pekerjaan untuk produksi, ya mohon maaf atas nama undang-undang tidak menutup kemungkinan kita akan evaluasi untuk kebaikan inevstor, rakyat, bangsa, dan negara'," kata Bahlil di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Menurut Bahlil, ketegasan pemerintah diperlukan agar kepentingan negara dapat tercapai. Apalagi, Indonesia tengah berupaya untuk meningkatkan produksi migas nasional.
"Jangan pengusaha mengendalikan negara. Tapi negara yang harus mengendalikan pengusaha, dengan catatan negara juga gak boleh zalim untuk pengusaha, harus equal treatment," tuturnya.
Lika-liku Blok Masela Era Habibie hingga Prabowo
Inpex, perusahaan energi asal Jepang, mengantongi hak pengelolaan Blok Masela di era pemerintahan Presiden BJ Habibie atau tepatnya pada 16 November 1998 untuk jangka waktu 30 tahun dan telah mendapatkan kompensasi waktu 7 tahun, serta perpanjangan 20 tahun belakangan. Dengan demikian, kontrak blok migas tersebut bakal berakhir pada 15 November 2055.
Baca Juga
Persetujuan rencana pengembangan (plan of development/PoD) I Blok Masela diperoleh 12 tahun kemudian, yakni pada 6 Desember 2010.
Berbagai dinamika mengiringi pengembangan Blok Masela selama lebih dari 2 dekade ini, membuat target produksi proyek ini terus molor.
Awalnya pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengembangan kilang gas alam cair (LNG) Blok Masela direncanakan di laut (offshore) atau dengan skema floating LNG (terapung). Seiring penemuan cadangan gas baru, Inpex kemudian mengajukan rencana peningkatan kapasitas kilang dari 2,5 metrik ton menjadi 7,5 metrik ton LNG per tahun sehingga mengharuskan adanya revisi rencana pengembangan atau PoD.
Revisi PoD itu belum selesai hingga akhir masa pemerintahan SBY, yang kemudian diajukan lagi saat pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, revisi tersebut malah memunculkan perdebatan panjang. Kala itu, Menko Kemaritiman Rizal Ramli mempersoalkan rencana pembangunan kilang LNG terapung (FLNG). Menurutnya, lebih baik membangun kilang LNG darat di Pulau Aru, Kepulauan Maluku. Investasi kilang LNG onshore diklaim lebih murah dibanding FLNG, yakni US$19,3 miliar dibanding US$14,6 miliar-15 miliar.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat itu berpandangan bahwa proyek Blok Masela lebih efisien apabila digarap dengan FLNG. SKK Migas pun cenderung sependapat tentang penggunaan FLNG.