Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ladang Gas Raksasa di Natuna Dilelang Ulang, Potensinya 2 Kali Blok Masela

Pemerintah resmi melelang ulang lapangan gas D-Alpha, bagian dari Blok East Natuna. Potensi gas yang dapat dieksploitasi diperkirakan capai 2,5 kali Blok Masela
Blok migas/Ilustrasi
Blok migas/Ilustrasi

Bisnis.com, TANGERANG — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi melelang ulang lapangan gas D-Alpha, yang menjadi bagian dari Blok East Natuna, Pulau Natuna, Kepulauan Riau. 

Lelang reguler itu dilaksanakan pada acara pembukaan IPA Covention & Exhibition ke-47 di ICE BSD Tangerang, Selasa (25/7/2023).

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, kementeriannya berkomitmen untuk mengembangkan sektor hulu migas lewat perbaikan fiskal dan daya saing industri di dalam negeri. 

"Hal tersebut diharapkan akan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor dengan tetap mempertimbangkan upaya pengurangan emisi karbon yang saat ini menjadi konsep dunia internasional," kata Tutuka saat pelelangan WK di acara pembukaan IPA Convention & Exhibition ke-47 di ICE BSD Tangerang, Selasa (25/7).

WK yang terletak di lepas pantai Natuna Timur itu terbentang dengan luas 10.291,03 kilometer persegi dengan minimum komitmen pasti 5 tahun terdiri atas studi GGRPE dan satu sumur. 

Selain Natuna D-Alpha, Kementerian ESDM turut melelang WK Panai dan Patin pada acara IPA Covention & Exhibition tahun ini. WK Panai terletak di daratan dan lepas pantai Sumatra Utara dan Riau dengan luasan wilayah mencapai 5.180,46 kilometer persegi. Sementara itu, minimum komitmen pasti yang diharapkan pada WK ini sepanjang 3 tahun dengan studi G&G dan 1 sumur eksplorasi.

Di sisi lain, WK Patin yang terletak di dataran Riau, Jambi dan Sumatra Barat memiliki luas 5.440,85 kilometer persegi dengan komitmen pasti 3 tahun yang meliputi studi G&G, akuisisi, dan processing seismik 2D 250 kilometer persegi. 

Sebelumnya, Tutuka mengatakan, pemerintah cenderung berhati-hati untuk melelang ulang lapangan gas D-Aplha yang sempat menjadi konsesi PT Pertamina (Persero). 

Alasannya, lapangan itu terbilang politis lantaran bersinggungan langsung dengan Laut China Selatan yang belakangan memantik polemik antara China dan dunia barat, Amerika Serikat dan sekutunya di Asia Tenggara (Asean). 

“Itu sangat politis soalnya karena itu di perbatasan dan dulu itu bekas perusahaan Amerika Serikat, dulu kan ExxonMobil jadi kalau begitu yang masuk dari Rusia, dari China begitu, Amerika balik nggak,” kata Tutuka saat ditemui ditemui di DPR, Jakarta, Rabu (14/6/2023).  

Belakangan, Kementerian ESDM menyerahkan hak pengelolaan dua lapangan bagian dari Blok East Natuna lainnya, Lapangan Arwana dan Barakuda, kepada anak usaha PT Pertamina Hulu Energi (PHE), PT Pertamina East Natuna.  

Komitmen investasi awal yang disertakan anak usaha hulu Pertamina itu mencapai US$13 juta atau setara Rp194,5 miliar (asumsi kurs Rp14.968 per dolar AS). 

Seperti diketahui, hampir 5 dekade atau sejak ditemukan pada 1973, nasib Blok East Natuna diombang-ambing ketidakjelasan. Lapangan gas raksasa tersebut masih juga belum digarap.  

Padahal, cadangan gas di East Natuna merupakan yang terbesar di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,5 kali lipat Blok Masela. Namun, kandungan CO2 yang lebih dari 70 persen, menjadikan blok ini tidak mudah dalam pengelolaannya. 

Hitung-hitungan Kementerian ESDM, Blok East Natuna memiliki potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (Tcf). Namun, dengan kandungan CO2 yang lebih dari 70 persen, gas yang bisa dieksploitasi dari blok tersebut kemungkinan hanya sekitar 46 Tcf. 

Awalnya, ExxonMobil tertarik menggarapnya dan mendapat hak kelola pada 1980. Akan tetapi, pemerintah menghentikan kontrak pada 2007 karena tak ada perkembangan.  

Setahun kemudian, Blok East Natuna diserahkan ke Pertamina. ExxonMobil ikut lagi pada 2010 bersama Total dan Petronas. Posisi Petronas kemudian digantikan oleh PTT Exploration and Production (PTT EP), perusahaan asal Thailand. 

Sayangnya, konsorsium itu bubar di tengah jalan. ExxonMobil memutuskan untuk hengkang pada 2017. Alasannya, perusahaan asal Amerika Serikat itu menilai blok itu tidak layak investasi.  

Mengikuti jejak ExxonMobil, PTT EP juga memutuskan untuk tidak melanjutkan konsorsium bersama Pertamina saat itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper