Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mendapatkan perusahaan migas yang tertarik untuk melakukan studi bersama atau joint study lapangan kaya gas Natuna D-Alpha.
Kepastian itu disampaikan Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji selepas lelang lapangan yang menjadi bagian dari Blok East Natuna itu tidak mendapatkan pemenang tahun lalu.
“Sekarang akan masuk ada peminat untuk joint study,” kata Tutuka kepada Bisnis dikutip Minggu (18/2/2024).
Lapangan Natuna D-Alpha sebelumnya sempat dilelang lewat putaran reguler pada IPA Convention & Exhibition ke-47 di ICE BSD Tangerang, Selasa (25/7/2023). Namun, hingga lelang ditutup pada 15 Desember 2023, belum ada perusahaan migas yang berminat menggarap ladang gas itu.
Tutuka menerangkan, kementeriannnya berencana untuk menerapkan skema bisnis pajak dan royalti atau tax and royalty pada sistem kontrak lapangan migas berisiko tinggi tersebut.
Hanya saja, kata dia, kementeriannya masih menunggu pembahasan lebih lanjut terkait dengan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Baca Juga
“Tax and royalty mungkin lebih menarik, tapi itu perlu basis undang-undang sebenarnya kami menunggu UU Migas tahun kemarin, kan belum selesai ini, semoga tahun ini dikerjain,” tuturnya.
Dalam dokumen lelang, D-Alpha terletak di lepas pantai Natuna Timur dengan luas 10.291,03 kilometer persegi. Kementerian ESDM meminta adanya komitmen pasti 5 tahun terdiri atas studi GGRPE dan satu sumur untuk peserta lelang.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyerahkan hak pengelolaan dua lapangan bagian dari Blok East Natuna lainnya, yakni Lapangan Arwana dan Barakuda, kepada anak usaha PT Pertamina Hulu Energi (PHE), PT Pertamina East Natuna.
Sudah 5 dekade atau sejak ditemukan pada 1973, nasib Blok East Natuna diombang-ambing ketidakjelasan. Lapangan gas raksasa tersebut masih juga belum digarap.
Padahal, cadangan gas di East Natuna merupakan yang terbesar di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,5 kali lipat Blok Masela. Namun, kandungan CO2 yang lebih dari 70%, menjadikan blok ini tidak mudah dalam pengelolaannya.
Hitung-hitungan Kementerian ESDM, Blok East Natuna memiliki potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (Tcf). Namun, dengan kandungan CO2 yang lebih dari 70%, gas yang bisa dieksploitasi dari blok tersebut kemungkinan hanya sekitar 46 Tcf.
Awalnya, ExxonMobil tertarik menggarapnya dan mendapat hak kelola pada 1980. Akan tetapi, pemerintah menghentikan kontrak pada 2007 karena tak ada perkembangan.
Setahun kemudian, Blok East Natuna diserahkan ke Pertamina. ExxonMobil ikut lagi pada 2010 bersama Total dan Petronas. Posisi Petronas kemudian digantikan oleh PTT Exploration and Production (PTT EP), perusahaan asal Thailand.
Sayangnya, konsorsium itu bubar di tengah jalan. ExxonMobil memutuskan untuk hengkang pada 2017. Alasannya, perusahaan asal Amerika Serikat itu menilai blok itu tidak layak investasi.
Mengikuti jejak ExxonMobil, PTT EP juga memutuskan untuk tidak melanjutkan konsorsium bersama Pertamina saat itu.
Lalu, pada akhir 2022, Pertamina memproses pengembalian Natuna D-Alpha kepada pemerintah. Namun, Pertamina tetap mempertahankan pengelolaan sebagian wilayah Blok East Natuna, yakni Lapangan Arwana dan Barakuda.