Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pengembangan Blok Tuna tengah terkendala lantaran terimbas sanksi Uni Eropa dan pemerintah Inggris terhadap Rusia atas krisis Ukraina.
Blok migas yang terletak di utara Natuna itu merupakan blok migas yang dioperatori oleh kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) Premier Oil Tuna B.V. (Harbour Energy Group), perusahaan berbasis di Inggris, dengan hak partisipasi 50 persen. Premier Oil bermitra dengan perusahaan migas pelat merah asal Rusia, Zarubezhneft.
Zarubezhneft melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd, mengakuisisi 50 persen hak partisipasi Premier Oil di Blok Tuna pada 2020 lalu.
Adanya kemitraan dengan BUMN Rusia tersebut belakangan membuat Premier Oil mengalami kesulitan untuk merealisasikan rencana pengembangan Blok Tuna.
Berikut 5 fakta rencana pengembangan Blok Tuna:
1. Investasi capai Rp45,4 triliun
Kontrak bagi hasil Blok Tuna ditandatangani dan berlaku sejak 21 Maret 2007. Kemudian, rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) Tuna telah disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada akhir 2022 lalu.
“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto melalui siaran pers, Senin (2/1/2023).
Baca Juga
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Untuk mendorong keekonomian, pemerintah memberikan beberapa insentif dengan asumsi masa produksi sampai 2035 mendatang. Pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar US$1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun. Adapun, kontraktor gross revenue sebesar US$773 juta atau setara dengan Rp11,4 triliun dengan cost recovery mencapai US$3,315 miliar.
Dari sisi penerimaan negara, diperkirakan pemerintah akan mendapat pendapatan hingga mencapai Rp18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimaan kontraktor yang sebesar Rp11,4 triliun.
2. Terletak di hot spot geopolitik dunia
Lokasi Blok Tuna berada di Laut Natuna Utara, sebelah perbatasan Indonesia-Vietnam yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia.
Pada 2021, sempat ramai diberitakan bahwa Pemerintah China melayangkan protes kepada Pemerintah Indonesia atas aktivitas pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna.
Protes China tersebut kala itu diungkapkan oleh Anggota DPR RI Komisi I Muhammad Farhan. Adapun, penolakan Pemerintah China disampaikan dalam nota diplomatik dengan alasan bahwa Indonesia melakukan pengeboran di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari hak bersejarahnya.
Pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan seperti di Blok Natuna, menurut Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, tidak hanya soal hitung-hitungan ekonomi saja, tetapi juga kepentingan kedaulatan negara.
“Persetujuan POD pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek, secara ekonomi dan politik, menjadi penegasan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut," kata dia.
3. Tersengat sanksi Eropa
Melalui laporan tahunan 2022, Harbour Energy plc, perusahaan induk Premier Oil Tuna BV, menyampaikan adanya keterbatasan operator Blok Tuna untuk melanjutkan rencana pengembangan lantaran sanksi yang ditetapkan Uni Eropa dan pemerintah Inggris. Sanksi itu menjadi tindaklanjut dari sikap Uni Eropa dan pemerintah Inggris atas invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun lalu.
Padahal, rencananya Harbour akan mulai masuk ke tahap front end engineering design (FEED) segera setelah rencana pengembangan pertama Blok Tuna disetujui pemerintah Indonesia pada Desember 2022 lalu.
“Pengembangan lebih lanjut telah terdampak oleh sanksi Uni Eropa dan Inggris yang membatasi kemampuan kami sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu bagi mitra Rusia kami di Lapangan Tuna,” tulis Harbour Energy dalam laporan tahunan mereka.
Lewat laporan tahunan yang berakhir 31 Desember 2022, Harbour Energy menegaskan tengah mengkaji berbagai opsi dan bakal berkoordinasi dengan mitra Rusia untuk memastikan rencana pengembangan lapangan bisa direalisasikan tahun ini.
“Kami bekerja sama dengan mitra kami untuk mencapai solusi yang memungkinkan kami untuk melanjutkan proyek pada 2023," tulis Harbour Energy.