Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SCI : Sektor Logistik Butuh Payung Hukum Setingkat UU

Chairman SCI Setijadi mengatakan dalam jangka panjang, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang lebih kuat untuk pengaturan sistem logistik dalam bentuk undang-undang (UU).
Direktur Utama JNE Mohamad Feriadi (kanan) memberikan paparan didampingi oleh Chairman Supply Chain Indonesia Setijadi dalam acara JNE Kumpul Bareng Kawan Pers di Jakarta, Senin (8/5/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Direktur Utama JNE Mohamad Feriadi (kanan) memberikan paparan didampingi oleh Chairman Supply Chain Indonesia Setijadi dalam acara JNE Kumpul Bareng Kawan Pers di Jakarta, Senin (8/5/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Sektor logistik dinilai membutuhkan payung hukum baru yang lebih kuat dari sekedar Peraturan Presiden No.26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Payung hukum tersebut bahkan harus berupa undang-undang tentang logistik.

Berdasarkan analisis Supply Chain Indonesia (SCI), salah satu faktor penyebab implementasi Sislognas yang tidak efektif karena regulasinya diatur dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) No.26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas).

Chairman SCI Setijadi mengatakan dalam jangka panjang, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang lebih kuat untuk pengaturan sistem logistik dalam bentuk undang-undang (UU).

"Ketidaktepatan pengaturan dalam bentuk Perpres juga karena subsektor-subsektor transportasi sebagai bagian dari sistem logistik justru diatur dalam bentuk UU, yang posisinya lebih tinggi dari Perpres," katanya, Kamis (21/11/2019).

UU subsektor yang dimaksud yaitu UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Perbaikan sektor logistik, imbuhnya, memerlukan dukungan regulasi yang kuat. Pada saat ini, regulasinya hanya Perpres 26/2012 tersebut. "Implementasi Sislognas tidak optimal yang bisa dilihat dari pencapaian Road Map, Tahapan Implementasi, dan Rencana Aksi Sislognas yang sangat rendah," ujarnya.

Setijadi merekomendasikan kepada pemerintah untuk mencabut Perpres 26/2012, serta merevisi dan menetapkan regulasi baru.

"Selain karena masalah pencapaian, revisi Sislognas juga diperlukan untuk penyesuaian terhadap perkembangan pesat situasi perekonomian dan perdagangan, serta teknologi," terangnya.

Perkembangan itu antara lain dalam bentuk Digitalisasi, Sharing Economy, Internet of Things, Cloud Logistics, Blockchain, dan Revolusi Industri 4.0.

Dengan Sislognas 2012, dia menilai Indonesia tidak dapat secara optimal mengembangkan ekosistem logistik nasional 2020 maupun berperan penting dalam ekosistem logistik terintegrasi kawasan menjelang Asean Connectivity 2025.

"Sislognas juga sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perencanaan pembangunan. Dalam rencana pengembangan pelabuhan, misalnya, Sislognas menyebutkan 2 pelabuhan hub internasional, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Bitung," paparnya.

Pemerintah saat ini mewacanakan 7 pelabuhan hub internasional, yaitu Belawan/Kuala Tanjung, Tanjung Priok, Kijing, Tanjung Perak, Makassar, Bitung, dan Sorong.

Pembaruan konsep dan strategi pengembangan Sislognas harus terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, termasuk dalam rencana pengembangan konektivitas.

Dia melanjutkan, sektor logistik Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Di samping tantangan karakteristik yang multisektoral dan multidimensional, tantangan utama sektor logistik adalah kebutuhan dukungannya terhadap peningkatan daya saing produk dan komoditas nasional, serta kesejahteraan rakyat.

"Dalam 5 tahun terakhir, sektor logistik Indonesia mengalami perkembangan dan dinamika, yang bisa dilihat antara lain dari peringkat Logistics Performance Index dari Bank Dunia. Peringkat LPI Indonesia berada pada posisi 53 di tahun 2014, 63 di 2016, dan 46 di 2018," katanya.

Walaupun peringkatnya meningkat pada 2018, tetapi peringkat Indonesia di antara negara-negara Asean mengalami penurunan dari posisi ke-4 menjadi posisi ke-5 di bawah Singapura (peringkat 7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).

"Hal ini mengindikasikan kinerja sektor logistik di negara-negara Asean lainnya itu meningkat lebih baik daripada Indonesia," jelasnya.

Masalah lainnya adalah inefisiensi logistik dari waktu dan biaya yang tinggi yang berdampak terhadap daya saing produk dan komoditas nasional.

Sislognas, katanya, harus terintegrasi dengan rencana pembangunan wilayah dari pemerintah-pemerintah daerah, termasuk dalam pengembangan dan peningkatan daya saing komoditasnya. 

"Sislognas baru harus terintegrasi dengan program dan rencana pembangunan sektoral terbaru dari kementerian-kementerian terkait. Misalnya, program pengembangan 5 sektor manufaktur prioritas dalam Making Indonesia 4.0 dari Kementerian Perindustrian," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper