Peningkatan kinerja logistik, iklim investasi, dan daya saing ekonomi nasional merupakan target pencapaian Inpres No. 5/2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional (Ekolognas) yang dirilis pada 16 Juni 2020.
Ekolognas dapat diakselerasi melalui mutualisme model kolaborasi-integrasi public-private sectors secara smart. Template kolaborasi-integrasi yang didesain secara smart, baik dalam e-commerce maupun logistik memperoleh momentum dalam Ekolognas tersebut.
Aplikasi smart logistics merupakan produk dari Revolusi Industri 4.0 (smart industry). Zezulka, dkk. (2016) menggunakan terminologi Industri 4.0 dalam tiga faktor yang saling terkait. Pertama, digitalisasi dan integrasi teknis-hubungan ekonomis dengan teknis yang rumit dan jaringan ekonomis yang kompleks. Kedua, digitalisasi penawaran produk dan layanan. Ketiga, model pasar baru (Tajuddin Bantacut dan Rahmat Fadhil, http://www.jurnalpangan.com, Vol 27, No. 2, 2018).
Tajuddin dan Rahmat mengemukakan bahwa teknologi yang saat ini paling banyak digunakan adalah internet of things (IoT), internet of service (IoS), dan internet of people (IoP). Semua berbasis sistem-fisik-siber.
Ketiga teknologi tersebut memungkinkan entitas komunikasi saling tertaut sekaligus memanfaatkan informasi/data dari produsen selama siklus kehidupan sistem tanpa dibatasi sekat perusahaan dan negara. Setiap saat, pihak terkait dapat memperoleh informasi/data yang relevan.
Konektivitas jejaring komunikasi (application programming interface/API) menjadi akses bagi ketersediaan informasi perkembangan pasokan, pengolahan, dan pengangkutan. Ketersediaan informasi/data yang senantiasa terbarui dan akuntabel sangat esensial terkait dengan akurasi perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi usaha.
Selanjutnya, pola komunikasi juga mengalami perubahan. Selain komunikasi antar-manusia (customer to customer/C2C), juga antara manusia dan mesin (costumer to machine/C2M) serta antar-mesin atau machine to machine/M2M (Cooper dan James 2009).
Smart industry 4.0 dan smart logistics pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan masa depan yang berorientasi pada smart city. Smart city merupakan konsep pengembangan, penerapan, dan implementasi teknologi di wilayah perkotaan dalam kompleksitas interaksi antar-sistem.
Menurut NEC (www.nec.com), implementasi smart city membutuhkan dukungan lima teknologi, yaitu cloud computing, sensor, otentikasi, monitoring, dan control. Smart city bertujuan menciptakan kemandirian wilayah dan meningkatkan pelayanan publik.
Oleh karena itu, menurut Giffinger dkk, smart city merupakan indikator performansi atas kombinasi (pintar) dari segala aktivitas. Dukungan kesadaran masyarakat atas kebutuhan smart city berdampak positif bagi pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat, transportasi, kualitas hidup, dan persaingan yang sehat.
Smart city telah diterapkan di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia. Beberapa kota di Indonesia juga telah menerapkan smart city seperti Surabaya, Denpasar, Bandung, Cimahi, Manado, Jakarta, dan Yogyakarta (I Putu Agus Eka Pratama, 2014).
Implementasi smart economy dan smart transportation sangat diperlukan Indonesia saat ini mengingat karakteristik geografis dan potensi sumber daya alam serta manusia (sebaran penduduk). Selain pemerataan ketersediaan barang dan jasa, smart economy juga terkait dengan pendidikan, entrepreneurship, inovasi, dan daya saing.
Pemerintah Irlandia merupakan contoh implementasi smart economy. Terdapat lima kebijakan yang diberlakukan, yaitu pengamanan ekonomi enterprise, pembangunan ide-ide ekonomi dan menciptakan pulau inovasi, peningkatan kualitas lingkungan dan mengamankan pasokan energi, investasi dalam infrastruktur kritikal, serta efisiensi dan efektivitas layanan publik dan regulasi pintar (I Putu Agus Eka Pratama, 2014).
Desain smart regulation terkait dengan infrastruktur transportasi sebagai salah satu backbone pertumbuhan dan pemerataan perekonomian, telah lama dirintis Amerika Serikat (AS). C. Jotin Khisty & B. Kent Lall (2005), mengemukakan bahwa pada 1991 AS menerbitkan Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA) yang bertujuan membangun sistem transportasi intermoda nasional yang ekonomis dan ramah lingkungan.
ISTEA menjadi pondasi bagi bangsa untuk berkompetisi dalam ekonomi global, sekaligus menggerakkan manusia dan barang dengan energi yang efisien.
Berikutnya, pada 1998 AS mengesahkan Transportation Equity Act for Twenty-first Century (TEA-21), sebagai kelanjutan dari ISTEA (1991). Jika ISTEA fokus pada efisiensi, TEA-21 fokus pada pemerataan. TEA-21 juga berkomitmen pada keseimbangan investasi jalan raya, sistem penghubung, dan fasilitas intermodal.
ISTEA (1991) dan TEA-21 (1998) merupakan gambaran sekilas mengenai smart regulation di AS yang berorientasi pada inovasi dan kemajuan iptek, yakni informasi, komunikasi, dan transportasi (intelligent transportation system/ITS).
Smart regulation dalam konteks smart logistics di Indonesia erat kaitannya dengan grand design pembentukan dan implementasi Inpres Ekolognas berikut tiga regulasi sebelumnya, yaitu Perpres Sislognas (No. 26/2012), Perpres MP3EI 2011-2025 (No. 48/2014), dan Perpres Road Map e-Commerce 2017-2019 (No. 74/2017).
Regulasi smart logistics nasional seyogianya berorientasi pada upaya-upaya untuk saling melengkapi sekaligus menutup celah antarregulasi (horisontal dan vertikal). Bila perlu, senantiasa memperbarui fleksibilitas dan dinamika transformasi lingkungan dan kebijakan, sehingga diperoleh manfaat atas kualitas implementasi regulasi yang terbaik.
Untuk itu, matriks kolaborasi antar kementerian/lembaga pusat dan daerah mendesak untuk diintegrasikan dengan keterlibatan peran, kontribusi, dan feedback dari pelaku usaha, users, akademisi, dan masyarakat luas. Hal ini penting untuk menciptakan sekaligus menjaga sustainability dan akuntabilitas integrasi komitmen smart logistics berlandaskan fairness.