Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) bukaa-bukaan soal kondisi industri tekstil yang makin tertekan lantaran maraknya produk impor ilegal dari China. Hal ini memicu banyak pabrik yang tutup hingga investor memilih pergi dari Indonesia.
Keresahan produsen tekstil ini diungkapkan lewat audiensi dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BK Kemendag). Terlebih, baru-baru ini Kemendag menolak penerapan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atas produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY).
Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil mengatakan pelaku industri makin resah dengan kondisi lapangan yang kian memburuk. Kendati demikian, pihaknya terus memperjuangkan keberlanjutan pabrik. Pasalnya, menurut Farhan hal ini bukan hanya perkara bisnis, namun hajat hidup banyak pekerja.
"Kami ceritakan bagaimana pabrik-pabrik mulai tutup diam-diam, kontrak dibatalkan, investasi batal, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan dan saat itu kami merasa, pemerintah seperti tidak melihat,” kata Farhan dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (5/8/2025).
Dia pun bercerita, dalam pertemuan tersebut APSyFI telah menjelaskan secara rinci dampak dari keputusan pemerintah menolak BMAD yang menjadi pukulan telak bagi industri tekstil saat ini.
Penolakan BMAD POY-DTY baru-baru ini membuat rencana investasi dibatalkan sehingga kondisi industri sektor hulu makin terpuruk. Investor menilai tak ada jaminan usaha lantaran impor ilegal yang masif di pasar domestik.
Baca Juga
“Investor asing sudah datang ke lokasi pabrik dan berkomitmen, kini menarik diri. Bagi mereka, tidak ada jaminan iklim usaha yang fair jika barang impor terus masuk tanpa hambatan,” jelasnya.
Menurut Farhan, kebijakan yang harusnya melindungi industri malah menjadi palu pemukul. Sebab, serangkaian rencana investasi dan pemulihan industri batal terjadi karena perlindungan terhadap produk dalam negeri urung diberlakukan.
Padahal, sebelumnya direncanakan terdapat 3 anggota APSyFI yang akan mereaktivasi kapasitas produksi tahun ini dan rencana penanaman modal asing (PMA) dengan nilai investasi US$250 juta atau setara Rp4 triliun.
“Ada investor asing yang sudah datang langsung ke lokasi, melihat potensi mesin-mesin produksi yang bisa dihidupkan kembali. Bahkan sudah ada kunjungan CEO dari perusahaan tekstil multinasional, mereka antusias, tapi begitu tahu BMAD ditolak, semuanya batal," tuturnya.
Tak hanya itu, Farhan juga menyebut bukan hanya minat investasi, sebelumnya juga terdapat sinyal kuat dari merek olahraga ternama yang sebelumnya hanya impor dari China ingin beralih ke produksi lokal untuk mengurangi risiko rantai pasok dan mempercepat distribusi.
“Kontrak sudah diteken, tinggal realisasi. Tapi ketika tidak ada perlindungan terhadap produk lokal, mereka tarik diri. Bagi mereka, buat apa investasi kalau produk yang sama bisa masuk dari luar dengan harga lebih murah dan tanpa hambatan?,” ujarnya.
Pabrik Setop Produksi
Lebih lanjut, Aqil mengungkapkan bahwa situasi di lapangan makin memprihatinkan. Banyak pabrik yang sebelumnya bertahan dalam kondisi terbatas kini mulai menyerah, bahkan sudah setop produksi tanpa publikasi. Sementara itu, data impor bahan baku justru melonjak tajam.
“Yang tutup itu ada Asia Pacific Fibers (POLY), yang lain masih ada. Data kami menunjukkan lonjakan impor benang filamen antara 70% sampai 300% dari 2017 hingga saat ini, tergantung jenis produknya. Itu bukan tren biasa. Itu sinyal kalau industri dalam negeri sedang runtuh pelan-pelan,” terangnya.
Dia pun menerangkan bahwa kondisi ini turut memicu efek sosial dan ekonomi yang signifikan. Pasalnya, pelaku industri menghadapi kredit macet karena tak mampu lagi membayar pinjaman.
Terlebih, tak sedikit tenaga kerja dirumahkan, mesin mangkrak, dan kepercayaan generasi muda terhadap sektor manufaktur terus menurun.
“Banyak pekerja sudah kehilangan pekerjaan. Anak-anak muda gak mau lagi kerja di pabrik, karena mereka lihat sendiri bagaimana masa depan industri ini seperti jalan buntu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dia menyoroti bahwa keterpurukan ini bukan pertama kalinya bagi industri tekstil dan turunannya yang dipicu oleh kebijakan yang tidak berpihak. Bahkan ada mafia yang bermain kuota, afiliasi, dan kepentingan impor.
"Setiap lima tahun, selalu ada siklus kehancuran. Dulu karena krisis, sekarang karena kebijakan. Kami sekarang di titik nadir. Tinggal tunggu mati satu per satu," tegasnya.
Dengan fenomena tutupnya pabrik di ekosistem industri tekstil, hal ini tentu membuktikan akan terjadi deindustrialisasi. Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah dapat membuat kebijakan berdasarkan kajian untuk kepentingan bersama, bukan mengakomodasi kepentingan salah satu pihak saja.
“Kami tidak bisa diam. Industri ini dibangun puluhan tahun, tidak bisa terus-menerus dihancurkan oleh kebijakan jangka pendek. Ini bukan soal bisnis lagi. Ini soal kedaulatan industri nasional,” pungkasnya.