Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asosiasi: Investasi Baru Pabrik Tekstil Belum Mampu Bangkitkan Industri

Investasi baru Rp10,2 triliun di sektor tekstil belum mampu mengatasi deindustrialisasi dini, dengan PHK dan penutupan pabrik masih berlanjut hingga 2025.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Badai PHK dan penutupan pabrik tak menyurutkan tambahan investasi baru di sektor tekstil. Namun, sinyal kuat deindustrialisasi dini memicu pabrikan baru tak mampu mendorong utilitas industri yang makin rendah. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan bahwa tren PHK masih berlanjut di 2025, meski skalanya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.

“Tambahan investasi yang masuk sebesar Rp10,2 triliun [tahun 2024] patut kita syukuri meski belum bisa menggantikan investasi yang setop baik dari sisi produksi maupun sisi penyerapan tenaga kerja,” kata Farhan dalam keterangan resmi, Jumat (1/8/2024)

Merujuk data Kemenperin, angka investasi tahun 2024 meningkat 124,9% dari tahun sebelumnya Rp4,53 triliun di sektor industri TPT dan alas kaki dengan menyerap tenaga kerja 1.907 orang. 

Menurut Farhan, di tengah dinamika global dan dua kesepakatan penting pemerintah terkait dengan tarif resiprokal AS, serta IEU-CEPA, suntikan investasi besar sangat dibutuhkan untuk mendorong integrasi industri dan memperkuat sektor TPT.

“Yang kita perlukan aggregate-nya, karena yang terjadi saat ini ada investasi baru tapi lebih besar investasi yang idle karena pabriknya setop sementara bahkan tutup, maka wajar kalau secara nasional utilisasi kita masih dalam tren turun, karena aggregate pertumbuhan investasinya jadi negatif,” jelasnya. 

Untuk itu, demi mendorong investasi bisa terus tumbuh, dia menilai jaminan pasar sangat penting. Namun faktanya, bukan hanya pasar ekspor yang penuh tantangan, pasar domestik pun saat ini dibanjiri produk impor.

Hal serupa disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman. Menurutnya, utilisasi industri garmen skala menengah dan kecil yang menyasar pasar lokal masih rendah, bahkan belum mencapai 50%.

“Kita bisa lihat secara gamblang baik di toko offline maupun online dipenuhi oleh barang impor,” ujar Nandi.

Dalam dua tahun terakhir, jumlah anggota IPKB memang meningkat karena banyak mantan pekerja terdampak PHK yang memilih membuka usaha konveksi. Namun, tantangan tetap besar karena permintaan masih rendah.

Ketua Bidang Teknologi Industri Tekstil Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Cecep Daryus, menambahkan bahwa profesional tekstil di level manajerial juga ikut terdampak dari lesunya industri, meskipun skalanya tidak terlalu besar.

“Bahkan mulai terjadi fenomena peningkatan profesional tekstil kita yang berkarir di luar negeri karena kebutuhan tenaga kerja level manajemen di Vietnam, Kamboja hingga Malaysia,” jelas Cecep.

Artinya, investasi baru di negara Asean lainnya sedang berkembang pesat hingga mencari tenaga profesional sampai ke Indonesia.

Namun, pendapat berbeda disampaikan oleh Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto. Dia menyebut tambahan investasi Rp10,2 triliun dan surplus perdagangan yang diklaim Kementerian Perindustrian tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan.

“Kami memperkirakan investasi yang stop akibat tutupnya 60 perusahaan TPT ini mencapai lebih dari Rp80 triliun, memang tidak hilang tapi mati suri. Belum lagi dampak ketenagakerjaan dan potensi perekonomiannya. Ini kan disembunyikan,” tegas Agus.

Agus juga menyoroti data utilisasi dari SIINAS yang jadi rujukan Kemenperin, karena menurutnya data itu tidak mencerminkan kapasitas riil mengingat perusahaan yang tutup tidak lagi mengisi laporan.

“Perusahaan yang tutup kan tidak isi SIINAS, tapi kan mesin-mesinnya masih ada di Indonesia, dan tidak menjadi pengurang nilai investasi,” ungkapnya.

Dia pun menambahkan bahwa dari sisi perdagangan, nilai surplus terus menyusut, dari US$4,2 miliar di 2015 menjadi hanya US$2,4 miliar pada 2024. Bahkan dari sisi volume, sejak 2016 Indonesia sudah mengalami defisit sebanyak 57.000 ton.

Agus menduga penyajian data oleh Kemenperin sengaja dikemas sedemikian rupa untuk menutupi lemahnya kinerja sektor industri, yang menurutnya justru memicu deindustrialisasi dini.

“Karena secara total, pertumbuhan industri sektor TPT ini selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi sehingga wajar jika kontribusi TPT terhadap PDB terus turun dari 1,22% di 2015 menjadi 1,02% di tahun 2024,” ujarnya.

Padahal, menurut Agus, sektor TPT adalah sektor strategis yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan khususnya dalam menyerap tenaga kerja hingga bisa berkontribusi menaikkan daya beli masyarakat, dan menjaga investasi yang ada tetap bisa berjalan adalah tanggung jawab Kemenperin.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro