Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Pasokan Gas Murah (HGBT), PHK Mengintai Industri Plastik Hulu

Krisis pasokan gas dan kebijakan HGBT mengancam industri plastik hulu di Indonesia, memicu PHK dan menurunkan daya saing akibat biaya produksi tinggi.
Ilustrasi industri plastik/JIBI
Ilustrasi industri plastik/JIBI
Ringkasan Berita
  • Gangguan pasokan gas dan kebijakan kuota HGBT menyebabkan tekanan pada industri plastik, memicu penurunan produksi dan ancaman PHK.
  • Pembatasan volume HGBT dan tingginya harga gas meningkatkan biaya produksi, memperburuk daya saing industri lokal terhadap produk impor, terutama dari China.
  • Industri hilir terancam terpuruk jika krisis pasokan gas berlanjut, yang dapat meningkatkan ketergantungan pada impor dan melemahkan kontribusi sektor industri terhadap ekonomi nasional.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA - Pasokan gas yang terganggu serta kebijakan kuota pemanfaatan harga gas bumi tertentu (HGBT) membuat sejumlah sektor industri tertekan. 

Sejumlah asosiasi industri menyuarakan kekhawatiran mendalam, tak terkecuali Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik (Inaplas).

Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono menjelaskan keberlangsungan usaha sangat ditentukan oleh kepastian pasokan energi, khususnya gas bumi yang selama ini menjadi penopang utama operasional pabrik.

Gangguan pasokan gas bumi pun menimbulkan keresahan, sebab bukan hanya menurunkan kinerja produksi, tetapi juga mulai memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Ada dua persoalan, yaitu pasokan dan harga. Pasokan gas turun karena adanya maintenance di sejumlah titik prioritas, sementara harga gas yang tinggi berpengaruh langsung terhadap harga jual, sehingga kita tidak bisa bersaing," ungkap Fajar dalam keterangannya, Rabu (20/8/2025).

Selain itu, beban industri kian berat karena adanya pembatasan volume HGBT. Dalam aturan yang berlaku, pelanggan hanya diperbolehkan memanfaatkan volume gas HGBT sebanyak 48%. Penggunaan gas di atas kuota tersebut dikenakan surcharge 120% dari harga US$14,8 per MMBTU atau setara US$17,8 per MMBTU. 

Skema ini membuat biaya produksi semakin tinggi dan mempersempit ruang gerak industri untuk menjaga daya saing.

Menurutnya, persoalan tersebut semakin menekan industri plastik nasional yang saat ini sedang berhadapan dengan gempuran produk impor, khususnya dari China.

"Industri saat ini masih bertahan dari serbuan barang impor asal China, terutama bahan baku plastik. Dulu mereka masih menjadi importir, sekarang sudah beralih menjadi eksportir. Kita sudah kewalahan, apalagi harga barang dari China jauh lebih murah," tambahnya.

Kondisi ini dinilai berdampak langsung terhadap utilitas pabrik dalam negeri yang semakin rendah. Beberapa perusahaan bahkan sudah menghentikan produksinya karena tidak mampu lagi bersaing.

"Dampaknya, utilitas kita menurun, bahkan ada satu pabrik yang kini sudah berhenti produksi karena tidak mampu bersaing dengan produk dari China," pungkas Fajar.

Lebih jauh, Fajar memperingatkan bahwa pembatasan kuota gas dan tingginya harga akan menekan rantai industri hilir. Jika hal ini tidak segera dihentikan, industri hilir yang menjadi penopang banyak lapangan kerja bisa terpuruk, dan pada akhirnya ketergantungan pada produk impor akan semakin sulit dihindari.

"Saat ini utilitas sudah menurun, bahkan bisa semakin turun. Saat ini, sudah ada yang menghentikan produksi. Dalam waktu dekat industri hilir pasti terdampak, dan dalam jangka panjang impor dipastikan akan semakin meningkat," tegas Fajar.

Fajar juga menekankan bahwa kelangsungan produksi sepenuhnya bergantung pada kepastian pasokan gas. Tanpa pasokan energi yang memadai, pabrik akan berhenti beroperasi.

"Jika produksi berhenti, perusahaan otomatis tidak mendapat pemasukan. Ujung-ujungnya pasti berakhir pada PHK. Tinggal menunggu waktu saja, karena hingga kini belum ada kepastian kapan pasokan akan kembali normal," ungkapnya.

Krisis pasokan gas ini tidak hanya soal keberlanjutan operasional industri, melainkan juga menyangkut keberlangsungan tenaga kerja dan daya saing nasional. 

Jika semakin banyak pabrik berhenti beroperasi, implikasinya tidak hanya pada penyerapan tenaga kerja, tetapi juga potensi melemahnya kontribusi sektor industri terhadap perekonomian Indonesia.

Fajar pun berharap pemerintah segera turun tangan untuk memberi kepastian. Ia menegaskan, data dan kebijakan yang diambil harus berdasarkan kondisi riil di lapangan.

"Faktanya, utilitas industri terus menurun dan PHK semakin banyak. Pemerintah diharapkan bisa melakukan pendataan dengan benar dan melakukan crosscheck," tutup Fajar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro