Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pecat 2.000 Pekerja secara Ilegal saat Pandemi, Qantas Didenda Rp949,16 Miliar

Qantas didenda Rp949,16 miliar karena memecat 2.000 pekerja secara ilegal saat pandemi. Pengadilan menyoroti budaya perusahaan dan mempertanyakan perubahan yang dilakukan.
Qantas Airways/qantas.com
Qantas Airways/qantas.com
Ringkasan Berita
  • Qantas Airways Ltd. didenda Rp949,16 miliar karena memecat hampir 2.000 pekerja secara ilegal selama pandemi Covid-19.
  • Putusan pengadilan mengharuskan Qantas membayar A$50 juta kepada Transport Workers’ Union, dengan sisa denda berpotensi dialokasikan kepada pekerja terdampak.
  • Hakim Michael Lee mengkritik budaya perusahaan Qantas dan meragukan komitmen mereka untuk berubah, menyebut permintaan maaf mereka sebagai "penyesalan performatif".

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Maskapai penerbangan Qantas Airways Ltd. dijatuhi denda sebesar 90 juta dolar Australia atau setara Rp949,16 miliar akibat pemecatan hampir 2.000 pekerja darat secara ilegal pada masa pandemi. Putusan pengadilan juga menyoroti budaya perusahaan dan mempertanyakan sejauh mana maskapai nasional Australia itu telah melakukan perubahan.

Berdasarkan putusan Federal Court of Australia yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (18/8/2025), Qantas diwajibkan membayar A$50 juta dari total denda langsung kepada Transport Workers’ Union (TWU), serikat pekerja yang menggugat pemecatan tersebut.

Sebagian dari sisa denda—yang akan diputuskan pada sidang lanjutan—berpotensi dialokasikan kepada 1.820 pekerja yang terdampak. Denda ini berada di luar kompensasi A$120 juta yang telah disepakati tahun lalu untuk para mantan karyawan.

Adapun, Qantas sebenarnya menghadapi ancaman hukuman maksimal hingga A$121 juta terkait kasus pemecatan ilegal ini.

Qantas melakukan outsourcing layanan penanganan darat di 10 bandara Australia pada akhir 2020, di bawah kepemimpinan mantan CEO Alan Joyce, ketika pandemi Covid-19 membuat industri penerbangan lumpuh. TWU berargumen, langkah itu dilakukan untuk menghindari negosiasi terkait upah, kondisi kerja, serta potensi aksi mogok.

Dalam pembacaan putusan yang berlangsung satu jam, Hakim Michael Lee mengecam budaya perusahaan yang memungkinkan pemecatan terjadi. Dia juga meragukan tingkat penyesalan Qantas serta komitmen manajemen untuk berubah, dengan menyoroti strategi hukum perusahaan yang dinilai keras dan agresif selama proses persidangan.

Lee mengaku “merasa tidak tenang dan tidak pasti” terkait proses pengambilan keputusan di level manajemen atas Qantas sebelum outsourcing tersebut dilakukan.

Kasus ini menjadi salah satu dari sejumlah skandal yang menjerat Qantas selama pandemi dan setelahnya, termasuk tuduhan regulator bahwa perusahaan menjual kursi untuk ribuan penerbangan yang sebenarnya sudah dibatalkan atau disebut ghost flights. Atas kasus itu, Qantas juga telah sepakat membayar penalti dan kompensasi tambahan sebesar A$120 juta.

Penyelesaian kasus pekerja darat dipandang sebagai bagian penting dari upaya pemulihan reputasi Qantas di bawah kepemimpinan CEO baru Vanessa Hudson, yang menggantikan Joyce pada akhir 2023. Namun, kritik tajam Hakim Lee kembali membuka perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab dan sejauh mana perubahan yang benar-benar dilakukan.

Hakim Lee bahkan menyebut permintaan maaf yang disampaikan Qantas hanya sebatas “penyesalan performatif.” Dia juga menyayangkan absennya Hudson di ruang sidang, yang memilih menyampaikan permintaan maaf melalui pernyataan resmi perusahaan.

“Satu hal bagi CEO untuk menerbitkan siaran pers yang menyatakan penyesalan, hal lain adalah menguji kebenaran penyesalan, pengakuan kesalahan, dan perubahan budaya di ruang pengadilan. Saya melihat Qantas lebih menyesali kerusakan reputasi yang ditimbulkan kasus ini ketimbang kerugian yang dialami para pekerja,” ujar Lee.

Sementara itu, Joyce yang kembali tampil di publik pekan lalu dalam sebuah konferensi penerbangan di Sydney, membela langkah-langkah yang diambil ketika dirinya masih menjabat. Menurutnya, keputusan sulit dan menyakitkan selama pandemi telah menyelamatkan Qantas dari kebangkrutan.

Sekretaris Nasional TWU, Michael Kaine, menilai pemecatan pekerja pada 2020 sebagai tindakan kejam dan egois.

“Putusan hari ini adalah pesan senilai A$90 juta untuk korporasi Australia bahwa pekerja akan selalu melawan demi keadilan,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro