Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setumpuk PR Prabowo untuk Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 5,4% pada 2026

Presiden Prabowo perlu bekerja keras untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026. Ekonom menilai target ini terlalu optimistis.
Surya Dua Artha Simanjuntak,Dany Saputra
Minggu, 17 Agustus 2025 | 18:51
Presiden Prabowo Subianto (kanan) mencium duplikat Bendera Merah Putih saat diserahkan kepada Paskibraka pembawa baki Bianca Alessia Christabella untuk dikibarkan dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (17/8/2025). Instagram Prabowo Subianto
Presiden Prabowo Subianto (kanan) mencium duplikat Bendera Merah Putih saat diserahkan kepada Paskibraka pembawa baki Bianca Alessia Christabella untuk dikibarkan dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (17/8/2025). Instagram Prabowo Subianto

Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto memiliki tantangan besar untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,4% yang tercantum di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Sejumlah ekonom menganggap target itu terlalu optimistis.

Adapun target itu diucapkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN 2026, di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025) lalu. 

"Dengan pengelolaan fiskal yang kuat, maka pertumbuhan ekonomi 2026 targetnya 5,4% atau lebih," ujar Prabowo.

Persoalannya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah menembus angka 5,4%. Rata-rata realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 - outlook 2025 hanya 4,28%. Capaian tertinggi terjadi pada tahun 2022, itupun karena pada waktu itu terjadi kenaikan harga komoditas. Pada waktu itu, pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,3%.

Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan pemerintah akan mengandalkan investasi dan ekspor untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% pada tahun depan, seperti yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2026. Untuk investasi, Sri Mulyani menjelaskan pemerintah pusat dan daerah akan bersinergi untuk menciptakan iklim usaha yang lebih atraktif, termasuk melalui insentif fiskal.

“Kami bersama Pak Tito [Mendagri] mendorong daerah menjadi atraksi investasi yang lebih baik, sehingga tidak hanya inflasinya rendah, tapi pertumbuhan dan investasinya meningkat,” ujar Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Jumat (15/8/2025).

Kementerian Keuangan, sambungnya, juga akan bekerja sama dengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi untuk merancang insentif fiskal yang mampu menarik modal asing. Dia menyatakan insentif fiskal itu akan tetap berdasarkan prinsip kehati-hatian fiskal.

Dari sisi ekspor, Sri Mulyani optimistis perjanjian perdagangan internasional yang telah disepakati akan memperluas pasar tujuan, seperti Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA). “Kemudian beberapa CEPA dari Kanada dan lain-lain. Jadi destinasi ekspor kita mungkin akan lebih terdiversifikasi,” katanya.

Dia menambahkan, Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor mineral kritis seperti rare earth yang dibutuhkan industri global. Dengan perkembangan tren teknologi seperti artificial intelligence (AI) dan ekonomi digital, Sri Mulyani meyakini Indonesia bisa memanfaatkan keunggulan di sektor mineral kritis tersebut. "Jadi kita juga berharap dari ekspor dan hilirisasi akan memberikan kontribusi cukup banyak dari sisi pertumbuhan 5,4%," tutupnya.

Terlalu Optimistis?

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet angkat bicara terkait target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Yusuf, target pertumbuhan tersebut masih terlalu optimistis. Hal ini mengingat belum optimalnya kinerja sektor-sektor pendukung.

"Kami lebih moderat melihatnya [pertumbuhan ekonomi 2026]. Target 5,4% itu masih terlalu optimistis. Bahkan Bank Dunia pun memproyeksikan pertumbuhan Indonesia tak sampai 5%. Jadi, target yang disampaikan Pak Presiden itu cukup mengagetkan," kata Yusuf saat ditemui di Kantor Bisnis Indonesia, Jakarta pada Jumat (15/8/2025).

Yusuf menuturkan, salah satu alasan mengapa target pertumbuhan 5,4% terlalu optimistis adalah belum optimalnya kinerja sektor yang menjadi motor ekonomi Indonesia, di antaranya industri manufaktur.

Dia menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, sektor industri manufaktur Indonesia kerap kali mencatatkan pertumbuhan di bawah 5%. Yusuf menilai, hal tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

"Ketika sektor industri manufaktur bisa tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi sebenarnya itu bisa dicapai. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini tidak terjadi," jelas Yusuf.

Sektor lain yang juga belum memiliki kinerja optimal adalah perdagangan. Yusuf memaparkan, hal ini disebabkan oleh lemahnya daya beli masyarakat, terutama pada kelas menengah.

Dia menuturkan, masyarakat kelas menengah Indonesia tidak memiliki program bantuan sosial (bansos) yang spesifik diberikan oleh pemerintah. Hal tersebut berbeda bila dibandingkan dengan warga kelas bawah yang mendapat serangkaian bansos.

"Ketika masyarakat tidak punya daya beli, ini juga akan ikut mempengaruhi kemampuan konsumsi mereka. Hal ini juga ikut mempengaruhi pertumbuhan industri manufaktur, dan akhirnya turut berdampak pada target pencapaian pertumbuhan ekonomi 5,4%," kata Yusuf.

Perlu Usaha Ekstra

Di sisi lain, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan pemerintah dihadapkan sejumlah tantangan dari sisi target penerimaan negara hingga biaya utang yang tinggi. 

Saat menyampaikan nota keuangan RAPBN 2026, Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi optimistis di 5,4% dengan inflasi 2,5%, nilai tukar Rp16.500/US$, dan yield SBN 10 tahun sebesar 6,9% dalam RAPBN 2026. 

Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto menyatakan meskipun targetnya optimistis, tapi masih ada tantangan besar yang akan muncul, baik dari sisi penerimaan negara yang melemah serta biaya utang yang tinggi. 

"Target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% sangat optimis, sementara realisasi 2023–2025 selalu di bawah target. Oleh karena itu, upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi butuh strategi ekstra," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/8/2025). 

Terkait target inflasi sebesar 2,5% pada tahun depan, Eko menilai masih relatif realistis, sejalan dengan capaian sebelumnya yang cenderung rendah. 

"Namun, potensi lonjakan harga pangan tetap menjadi risiko utama terhadap daya beli masyarakat. Asumsi nilai tukar Rp16.500 per dolar AS, lebih pesimistis dibanding target sebelumnya. Perlu strategi penguatan atau apresiasi Rupiah kembali ke bawah Rp16.000 agar stabilitas makro lebih terjaga," ujarnya. 

Selain itu, Eko juga menyoroti Yield SBN Indonesia yang masih mahal (target 6,9% pada 2026) dibanding negara lain. Dia menilai hal ini akan membebani fiskal dan bisa mengganggu keberlanjutan apabila tidak ditekan ke kisaran 6%. 

"Gap total penerimaan negara pada RAPBN 2026 terhadap outlook 2025 mencapai Rp282,2 triliun, sehingga strategi peningkatan penerimaan harus dilakukan tanpa menekan basis pajak yang sudah patuh," tegasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro