Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CSIS: Target Pertumbuhan 5,4% di RAPBN 2026 Terlalu Optimistis

CSIS menilai target pertumbuhan ekonomi 5,4% RAPBN 2026 terlalu optimistis karena tantangan global, penurunan harga komoditas, dan lemahnya penciptaan lapangan kerja.
JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti DEKORASI IMLEK DI BUNDARAN HI Sejumlah pengendara sepeda motor melintasi dekorasi Tahun Baru Imlek di Bundaran HI, Jakarta, Senin (27/1/2025). Suku Dinas Pertamanan dan Kehutanan DKI menghiasi kawasan tersebut bertemakan shio ular kayu untuk menyemarakkan Tahun Baru China 2576 Kongzili.
JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti DEKORASI IMLEK DI BUNDARAN HI Sejumlah pengendara sepeda motor melintasi dekorasi Tahun Baru Imlek di Bundaran HI, Jakarta, Senin (27/1/2025). Suku Dinas Pertamanan dan Kehutanan DKI menghiasi kawasan tersebut bertemakan shio ular kayu untuk menyemarakkan Tahun Baru China 2576 Kongzili.

Bisnis.com, JAKARTA – Centre for Strategic and International Studies alias CSIS menilai target pertumbuhan ekonomi 5,4% dalam RAPBN 2026 terlalu optimistis.

Tekanan global, penurunan harga komoditas ekspor, lemahnya mesin pencipta lapangan kerja, hingga kebergantungan ke program unggulan dinilai menjadi tantangan serius bagi pemerintah untuk mewujudkan asumsi tersebut.

Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menjelaskan bahwa perekonomian dunia pada 2026 masih akan dibayangi ketidakpastian yang tinggi. Menurutnya, kondisi geopolitik, arah kebijakan ekonomi negara-negara besar, serta dampak berkepanjangan pascapandemi Covid-19 masih menahan laju pemulihan ekonomi global pada tahun depan.

Dia mengingatkan bahwa sejumlah lembaga internasional menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global maupun Indonesia. Misalnya IMF yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,3% pada Januari 2025 menjadi 3,1% pada Juli 2025, sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas dari 5,1% menjadi 4,8%.

“Ini tentu berpengaruh sekali kepada RAPBN kita, karena salah satu asumsi di dalam RAPBN tersebut adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. Angka ini agak jauh dari proyeksi badan dunia seperti IMF, World Bank, dan lain-lain,” jelas Yose dalam media briefing CSIS, Senin (18/8/2025).

Pengajar Ekonomi Internasional di FEB UI ini juga menyoroti tekanan penurunan harga dan permintaan komoditas unggulan ekspor Indonesia. Dia menjelaskan bahwa produk utama seperti CPO, batu bara, nikel, dan gas alam selama ini menopang 40% ekspor nasional.

Komoditas-komoditas itu, sambung Yose, mengalami pelemahan harga cukup dalam dibanding dua hingga tiga tahun lalu. Masalahnya, secara historis ada korelasi antara harga komoditas unggulan itu dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Kalau harga komoditas naik, pertumbuhan ekonomi kita juga naik. Tetapi sebaliknya, kalau harga komoditas turun, kemungkinan pertumbuhan ekonomi kita juga akan turun. Jadi kembali lagi, agak lebih sulit kita mencapai target atau asumsi 5,4% atau yang disebutkan di dalam RAPBN,” katanya.

Penciptaan Lapangan Kerja

Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menambahkan bahwa pemerintah perlunya perhatian serius terhadap penciptaan lapangan kerja apabila ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun depan. Riandy menilai mesin penciptaan lapangan kerja utama Indonesia, yaitu sektor manufaktur, belum kembali pulih sejak krisis moneter Asia 1997/1998.

“Dulu manufaktur kita tumbuh double digit, tumbuh 10–12%, sehingga ekonomi kita ikut terdorong dan serapan tenaga kerja besar. Sekarang, manufaktur growth kita tidak lagi secepat itu. Manufaktur tidak lagi jadi puller economic growth [pengungkit pertumbuhan ekonomi,” kata Riandy.

Sayangnya, dia melihat arah investasi semakin menjauh dari industri pengelolahan dan manufaktur yang selama ini menjadi penciptaan lapangan kerja berkualitas utama di Indonesia. Riandy mencontohkan, dari total investasi langsung, yang mengarah ke sektor padat modal hanya berkisar 30—40% dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal pada 2002—2010, persentasenya mencapai 50—80%.

Menurutnya investasi yang fokus ke sektor padat modal memperlemah penciptaan lapangan kerja berkualitas. Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak saat ini, sambung Riandy, hanyalah puncak gunung es dari masalah struktural ketenagakerjaan Indonesia.

“Tetapi hal ini tidak menjadi perhatian utama dalam RAPBN 2026 maupun pidato kenegaraan [Presiden Prabowo Subianto] yang menjadi arah kebijakan ke depan,” jelasnya.

Riandy menilai dalam RAPBN 2026, pemerintah seakan masih percaya program makan bergizi gratis (MBG) bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Program MBG mendapatkan anggaran Rp335 triliun dalam RAPBN 2026, yang mencapai sekitar 44% dari dana abadi pendidik sebesar Rp757,8 triliun. Anggaran itu naik hampir lima kali lipat dari RAPBN 2025 yang hanya sebesar Rp71 triliun.

Oleh sebab itu, anggaran lain harus dipotong untuk mensubsidi program MBG. Masalahnya, hingga kini program MBG masih memiliki masalah pencarian dana (disbursement): dari alokasi anggaran Rp71 triliun, baru terealisasi sekitar Rp8 triliun

Riandy pun menyarankan agar pemerintah mendiversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pemerintah tidak bisa mengandalkan MBG sebagai motor utama untuk capai target pertumbuhan ekonomi 5,4%.

"Sambil menyelesaikan masalah disbursement [dalam program MBG], dialihkan saja anggarannya untuk sektor lain yang udah dipotong awalnya, yaitu perjalanan dinas, infrastruktur. Di saat ekonomi sulit, yang penting uangnya mengucur ke bawah," tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro