Bisnis.com, JAKARTA — Ancaman pengenaan tarif impor tambahan yang dilayangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk negara-negara BRICS dinilai tidak perlu ditanggapi secara reaktif oleh Indonesia. Meski demikian, pemerintah tetap perlu mewaspadai pernyataan atau sikap-sikap sejenis ke depannya.
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak perlu menganggap ancaman tersebut terlalu serius.
Dandy menilai Indonesia sebaiknya tetap fokus dalam mencapai kesepakatan dagang dalam negosiasi yang tengah berlangsung. Dia juga memandang Indonesia tidak perlu memberikan tawaran atau konsesi-konsesi tambahan setelah munculnya ancaman Trump terhadap anggota BRICS.
"Saya tidak melihat kita butuh misalnya meningkatkan offer buat AS. Pemerintah harus tetap berusaha untuk menyelesaikan penawaran awal kita saja," katanya saat dihubungi, Senin (7/7/2025).
Di sisi lain, Dandy menambahkan pemerintah Indonesia seharusnya juga telah memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi dari bergabungnya Indonesia ke BRICS dan dampak yang ditimbulkan terhadap hubungannya dengan AS.
Oleh karena itu, ke depannya dia meminta pemerintah Indonesia untuk terus mencermati dan mewaspadai pernyataan serta sikap Trump yang berpotensi menimbulkan dampak negatif ke Indonesia. Dandy menuturkan, ancaman Trump kebanyakan berupa gertakan dari unggahan-unggahannya di media sosial.
Baca Juga
Lebih lanjut, Dandy menuturkan, ancaman Trump terhadap anggota BRICS juga merupakan hal baru. Dia mencontohkan, pada akhir 2024 lalu, Trump mengancam akan memberikan tarif 100% karena BRICS berupaya mengakselerasi langkah dedolarisasi.
"Dia [Trump] sudah cukup banyak melakukan gertakan seperti ini. Selama belum ada regulasi atau pernyataan resmi, saya lebih cenderung tidak terlalu menganggap ini sebagai satu hal yang serius. Tetapi, memang benar ini harus diwaspadai karena sudah mendekati tenggat tarif," tambahnya.
Stabilitas Regional Terancam
Secara terpisah, Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Teuku Rezasyah mengatakan stabilitas kawasan Asia Tenggara akan terdampak negatif jika Trump merealisasikan ancaman-ancaman tarifnya.
Dia menjelaskan, guncangan akan terjadi pada negara-negara anggota Asean. Teuku menuturkan, pengenaan tarif yang berbeda-beda pada masing-masing negara akan berdampak pada solidaritas negara Asia Tenggara.
"Hal ini karena mereka akan terpecah dalam kelompok yang diuntungkan dan yang dirugikan," jelasnya.
Selain itu, kebijakan tarif Trump juga akan berdampak pada menurunnya daya saing para anggota Asean baik di dalam maupun luar kawasan. Hal ini juga akan menghambat serta kemampuan Asean mencapai semua sasaran dalam ASEAN Economic Community (AEC).
Dia melanjutkan, stabilitas di banyak negara Asean juga akan melemah akibat meningkatnya biaya produksi dan berkurangnya kemampuan pemerintah memfasilitasi kebutuhan dasar masyarakat.
Lebih lanjut, untuk merespons ancaman Trump, Teuku menyebut Indonesia perlu mempersiapkan negosiasi ulang dengan AS. Dia menuturkan, Pemerintah Indonesia perlu berupaya menekan tarif awal 32% turun menjadi di bawah 20%, mengikuti keberhasilan negosiasi ulang yang telah dilakukan Vietnam.
"Indonesia dapat belajar dari KTT APEC di Bogor tahun 1994 silam saat Merdeka melobi AS untuk mempraktikkan pengenaan 10% hanya pada anggota lama terlebih dahulu," jelasnya.
Selanjutnya, RI juga perlu mengupayakan keseimbangan neraca perdagangan dengan AS. Menurutnya, dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, Indonesia dapat memprioritaskan pembelian energi asal Amerika Serikat.
Kemudian, Indonesia juga perlu melakukan sinkronisasi kebijakan dengan Global South yang beranggotakan 134 negara untuk mengedepankan perdagangan dan investasi dari sesama negara-negara berkembang
"Pemerintah Indonesia juga memperbanyak dialog dengan berbagai kalangan di Amerika Serikat akan bahaya pengenaan tarif yang semena-mena bagi perdamaian dan keamanan dunia," katanya.