Bisnis.com, JAKARTA — Ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menerapkan tarif tambahan 10% terhadap negara-negara anggota BRICS dinilai sebagai ujian berat bagi posisi tawar Indonesia di tengah negosiasi dagang dengan Washington terkait tarif impor.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan meyakini ancaman tarif tersebut merupakan bagian dari strategi negosiasi Trump yang memang dikenal agresif.
“Ini memang taktik Trump dalam bernegosiasi. Dia ‘call high’ dulu dengan ancaman agar posisi Indonesia jadi sulit,” ujar Deni kepada Bisnis, Senin (7/7/2025).
Dia pun mengkritisi langkah pemerintah yang dinilai kurang cermat dalam membaca dinamika geopolitik global. Menurutnya, koordinasi antara kebijakan luar negeri dan ekonomi saat kurang, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto menghadiri KTT BRICS, sementara di saat bersamaan Indonesia tengah merundingkan kesepakatan dagang dengan AS.
Apalagi, sambungnya, AS telah meneken kesepakatan dagang dengan Vietnam awal pekan lalu sehingga posisi tawar Indonesia saat ini sudah kurang menguntungkan. Deni meyakini perjanjian tersebut berpotensi dijadikan acuan oleh AS untuk menekan Indonesia agar memberikan konsesi serupa.
Adapun AS akan mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% ke barang-barang asal Indonesia. Sebagai perbandingan, usai capai kesepakatan, AS menurunkan tarif resiprokal dari 46% ke 20% ke barang-barang asal Vietnam.
Baca Juga
“Posisi Indonesia sudah tidak menguntungkan usai kesepakatan AS-Vietnam. Situasi ini makin berat setelah Indonesia menghadiri KTT BRICS, yang bisa dipakai Trump sebagai alibi untuk menekan Indonesia, dianggap lebih memihak China dan ‘musuh’ AS,” jelasnya.
Deni mengakui bahwa ruang manuver Indonesia untuk menghadapi tekanan AS kini sangat terbatas. Hanya saja, dia menekankan bahwa Indonesia tetap perlu berupaya menyelesaikan kesepakatan dengan AS.
Paling tidak, sambungnya, Indonesia harus segera merampungkan kesepakatan dengan AS meskipun terbatas. Jika tidak segera ada kesepakatan maka akan mengirim sinyal buruk ke dunia internasional, seolah Indonesia tidak bisa menunjukkan komitmen untuk reformasi ekonomi.
Di samping itu, Deni menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam merespons tekanan AS. Menurutnya, Indonesia perlu memastikan kesepakatan dagang tidak merugikan kepentingan nasional.
“Kalaupun terpaksa membuka akses pasar, sebaiknya hanya di sektor-sektor yang tidak strategis tapi penting untuk mendorong kemajuan, seperti energi hijau, infrastruktur digital, dan lainnya,” jelas Deni.
Dia juga menekankan, jika Indonesia terpaksa meningkatkan impor dari AS maka barang-barang tersebut harus benar-benar sesuai kebutuhan domestik, serta tidak dapat diperoleh secara murah dan berkualitas dari dalam negeri atau negara lain.
Sebelumnya, Trump menyatakan akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara mana pun yang dianggap sejalan dengan kebijakan anti-Amerika yang diusung BRICS.
Ancaman tersebut menambah ketidakpastian di tengah negosiasi tarif dagang yang masih berlangsung dengan sejumlah mitra dagang AS.
"Negara mana pun yang berpihak pada kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10%. Tidak akan ada pengecualian terhadap kebijakan ini,” tulis Trump dalam unggahannya di platform Truth Social dikutip dari Bloomberg pada Senin (7/7/2025).