Bisnis.com, JAKARTA — Perekonomian China melambat di hampir semua sektor pada Juli 2025. Aktivitas pabrik, investasi, dan penjualan ritel mengecewakan ekspektasi, dipengaruhi pengetatan Beijing terhadap perang harga merusak serta dampak lanjutan tarif impor dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Data Biro Statistik Nasional (NBS) yang dikutip dari Bloomberg pada Jumat (15/8/2025) menunjukkan, produksi pabrik dan tambang hanya naik 5,7% secara tahunan, terendah sejak November dan di bawah proyeksi, dibandingkan kenaikan 6,8% pada Juni.
Selanjutnya, penjualan ritel tumbuh 3,7% year on year (yoy), terendah sepanjang tahun ini dan melambat dari 4,8% pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan investasi aset tetap dalam tujuh bulan pertama tahun ini juga turun menjadi 1,6%, seiring kontraksi sektor properti yang semakin dalam. Tingkat pengangguran perkotaan naik menjadi 5,2%, melebihi perkiraan.
Homin Lee, Senior Macro Strategist Lombard Odier di Singapura menuturkan, indikator utama Juli mengindikasikan pelemahan ekonomi akibat tarif sudah dimulai.
“Hilangnya momentum pada indikator permintaan dan penawaran menandakan perlunya penyesuaian kebijakan fiskal di pertengahan tahun," katanya.
Pelemahan tersebut terjadi setelah pertumbuhan kuat di awal tahun memberi ruang bagi Beijing untuk menahan stimulus tambahan. Pimpinan tertinggi telah mengisyaratkan akan mempertahankan langkah dukungan yang sudah direncanakan sambil menambah bantuan jika diperlukan, tergantung perkembangan data ekonomi.
Baca Juga
Meski NBS menyatakan perekonomian tetap tumbuh di tengah tantangan eksternal dan cuaca ekstrem, risiko dan hambatan masih besar. Aktivitas industri dan konstruksi juga terganggu akibat gelombang panas, hujan lebat, dan banjir di sejumlah wilayah, memperburuk musim sepi secara musiman.
Pinjaman baru dalam denominasi yuan justru menyusut pada Juli untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, mencerminkan lemahnya minat pinjaman dan konsumsi.
Alih-alih meluncurkan stimulus besar-besaran, pemerintah fokus membatasi kompetisi tidak sehat di sektor seperti baja, energi surya, dan mobil listrik.
Jacqueline Rong, Chief China Economist BNP Paribas SA menuturkan, langkah ini membuat pemerintah daerah membatasi investasi baru di industri yang kelebihan kapasitas, menekan belanja manufaktur, properti, dan infrastruktur.
"Kondisi yang sangat jarang dilakukan oleh China," jelas Rong.
Jika data Agustus tetap lemah, analis memperkirakan langkah dukungan tambahan akan dirilis pada akhir September atau awal Oktober, meski skala stimulus kemungkinan lebih kecil dari tahun lalu karena target pertumbuhan sekitar 5% dinilai masih aman.
Sementara itu, efektivitas subsidi konsumsi mulai berkurang. Penjualan elektronik rumah tangga, perlengkapan kantor, dan furnitur melambat, sedangkan pembelian mobil turun 1,5% yoy, penurunan pertama sejak awal tahun. Beberapa daerah bahkan kehabisan dana subsidi sejak Juni sebelum pemerintah pusat menyalurkan tambahan anggaran akhir Juli.
Pemerintah tengah mempertimbangkan perluasan program tukar tambah (trade-in) untuk lebih banyak barang dan jasa, di samping kebijakan baru seperti subsidi bunga kredit konsumsi, penghapusan bertahap biaya prasekolah, dan bantuan pengasuhan anak guna mendorong konsumsi domestik.
“Ke depan, data ekonomi kemungkinan akan menunjukkan tanda-tanda perlambatan lebih lanjut, bahkan mungkin lebih cepat dalam beberapa bulan mendatang,” kata Xiaojia Zhi, Chief China Economist Credit Agricole CIB di Hong Kong.