Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan melanjutkan efisiensi belanja seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN. Terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto guna memastikan efisiensi berjalan pada jalur yang benar.
Untuk diketahui, PMK tersebut mengatur ihwal efisiensi belanja yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah.
Menariknya di dalam beleid itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025.
Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.
Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board.
Baca Juga
Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi.
"Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output," jelas Josua kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) pada paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme 'blokir-buka' anggaran yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan.
Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK.
Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD).
"Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi," ujar Josua.
Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Sri Mulyani pada akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).
Di sisi lain, efisiensi yang dicanangkan pemerintah itu dinilai sambil tetap melindungi belanja pegawai dan bantuan sosial.
Sebagai informasi, Inpres No.1/2025 yang diterbitkan Presiden Prabowo sebelumnya menargetkan efisiensi total Rp306,7 triliun, yang meliputi anggaran kementerian/lembaga Rp256,1 triliun, serta Rp50,6 triliun pada TKD.
Efisiensi pada PMK itu juga, lanjut Josua, memprioritaskan agar pemangkasan tidak berasal dari pinjaman/hibah, Rupiah Murni Pendamping, PNBP-BLU yang disetor ke kas negara, maupun proyek yang menjadi underlying SBSN—sehingga ruang fiskal dialihkan ke program prioritas Presiden tanpa menurunkan layanan dasar.
Di sisi lain, PMK baru itu juga merinci 15 jenis belanja sebagai objek efisiensi yang dinilai teknisnya untuk mendorong "value for money".
Belum Ada Penjelasan Rinci Efisiensi Anggaran Lanjutan
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara masih enggan menjelaskan lebih lanjut perincian efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini.
Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga.
"Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan," tuturnya di Istana Kepresidenan.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, PMK Nomor 56/2025 itu mengatur bahwa anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah.
"Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," tertulis dalam beleid itu, dikutip pada Rabu (6/8/2025).
Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang terkena efisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025.
Meski demikian, aturan baru tersebut belum menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden.
Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga.