Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agresif melakukan efisiensi belanja untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ironisnya, aksi gencar efisiensi belanja itu dilakukan ketika outlook defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terkerek naik dari 2,53% menjadi 2,78% dari produk domestik bruto (PDB).
Pelebaran ruang fiskal di tengah beban anggaran yang cukup besar dan penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 7% pada semester 1/2025, tentu berisiko. Outlook defisit anggaran yang mencapai 2,78% dari PDB juga tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Risiko lainnya, pemerintah harus menambah utang yang diperkirakan mencapai Rp772,9 triliun sampai akhir tahun. Meski lebih rendah dari target senilai Rp775,9 triliun, outlook utang pemerintah 2025 diperkirakan mengerek rasio utang terhadap PDB hingga 41,6%. Alhasil, sebagai jalan pintas, pemerintah kemudian menggunakan sisa anggaran lebih alias SAL tahun 2024 senilai Rp85,6 triliun untuk meminimalkan risiko fiskal akibat pembengkakan utang dan menjaga defisit di bawah 3% dari PDB.
Di sisi lain, melalui implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 yang mengatur efisiensi belanja, pemerintah sejatinya telah memberikan sinyal bahwa efisiensi anggaran kemungkinan terjadi lebih radikal atau sebaliknya, karena dalam Pasal 4 ayat 6 PMK tersebut, pelaksanaan efisiensi akan memperhitungkan penerimaan pajak secara keseluruhan.
“PMK ini menegaskan bahwa pelaksanaan kebijakan efisiensi harus mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan secara keseluruhan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada Bisnis belum lama ini.
Baca Juga
Aturan PMK Efisiensi
Sekadar informasi bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.
Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah.
Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan item belanja kena efisiensi dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025.
Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan. Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.
Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden.
Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, aturan itu memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian atau lembaga.
Catatan Ekonom Soal Efisiensi
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board.
Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi. "Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output," jelas Josua.
Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) di paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme 'blokir-buka' anggaran yang yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan.
Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD).
"Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi," ujar Josua.
Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).
Penerimaan Pajak Jadi Kunci
Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa defisit anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tahun depan, pemerintah akan melanjutkan sejumlah program unggulan atau prioritas yang mulai dijalankan tahun ini.
Program tersebut menurutnya juga akan mengalami penyesuaian target penerima, yang berpotensi bertambah. Peningkatan jumlah penerima ini akan mendorong kebutuhan anggaran lebih besar untuk belanja prioritas.
Di sisi lain, tantangan pada pos penerimaan pajak diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan. Indikator tax buoyancy yang rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB belum mampu secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh tingginya tingkat informalitas di sektor usaha serta kebutuhan pemberian insentif pajak.
Terkait efisiensi, pemerintah akan mengarahkannya pada pos-pos yang tidak berhubungan langsung dengan program prioritas, seperti perjalanan dinas, rapat, seminar, dan belanja barang.
“Namun, porsi pos-pos ini relatif kecil terhadap total anggaran, sehingga dampak efisiensinya terhadap penurunan belanja secara keseluruhan tidak signifikan. Hal ini karena belanja terbesar tetap dialokasikan untuk program-program utama yang tidak termasuk dalam kebijakan efisiensi.”