Bisnis.com, JAKARTA — Selain kementerian dan lembaga, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyasar efisiensi sejumlah pos anggaran transfer ke daerah atau TKD demi mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1), efisiensi TKD diberlakukan terhadap alokasi yang digunakan untuk infrastruktur, dana otonomi khusus (otsus) dan keistimewaan daerah, dana yang belum dirinci per daerah dalam APBN tahun berjalan, hingga alokasi yang tidak digunakan untuk pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan juga mencakup TKD lain sesuai arahan presiden.
Sementara itu dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) diatur bahwa dana TKD hasil efisiensi akan dicadangkan dan tidak disalurkan, kecuali terdapat arahan lain dari presiden.
Dijelaskan bahwa hasil efisiensi TKD dapat berbentuk alokasi per daerah maupun alokasi yang belum dirinci. Dana hasil efisiensi yang dicadangkan akan menjadi dasar penyesuaian rincian alokasi TKD per provinsi/kabupaten/kota atau per bidang, yang kemudian diadopsi dalam APBD masing-masing daerah.
Selain itu, Pasal 19 mengatur mekanisme pergeseran anggaran TKD yang telah dicadangkan ke Subbagian Anggaran Bendahara Umum Negara Belanja Lainnya. Proses ini dilakukan tanpa memerlukan reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan mempertimbangkan kebutuhan anggaran serta karakteristik masing-masing jenis TKD.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai kebijakan penahanan dana TKD sesuai PMK 56/2025 itu akan menggeser keseimbangan hubungan pusat-daerah ke arah kontrol pusat yang lebih dominan atau tersentralisasi, terutama dalam aspek fiskal.
Baca Juga
"Prinsip desentralisasi fiskal yang seharusnya memberikan keleluasaan daerah dalam mengelola sumber daya menjadi tereduksi ketika alokasi TKD menjadi instrumen cadangan di pusat," jelas Rizal kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
Dia khawatir jika pola itu terus berlanjut tanpa reformasi tata kelola TKD berbasis kinerja dan transparansi maka secara de facto otonomi fiskal daerah akan tereduksi menjadi sekadar fungsi administratif, bukan instrumen pembangunan yang mandiri.
Tak hanya itu, Pengajar di Universitas Trilogi Jakarta ini meyakini efisiensi TKD melalui penahanan pencairan dana akan berdampak langsung ke keterlambatan proyek infrastruktur daerah, pengurangan belanja modal, dan hilangnya potensi efek pengganda (multiplier effect) di sektor riil daerah.
Menurutnya, daerah dengan ketergantungan tinggi pada TKD seperti daerah tertinggal dan otonomi khusus akan merasakan kontraksi belanja publik yang signifikan.
"Dalam jangka pendek, ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi regional, memperlambat penciptaan lapangan kerja, dan menurunkan daya beli. Dalam jangka panjang, ketertinggalan infrastruktur dan layanan publik bisa semakin lebar antarwilayah," ungkap Rizal.
Efisiensi Belanja
Pemerintah juga membuka kemungkinan penggunaan dana hasil efisiensi untuk membiayai belanja pegawai, operasional kantor, pelaksanaan tugas dan fungsi dasar, layanan publik, maupun kegiatan prioritas presiden, dengan persetujuan menteri keuangan.
Kebijakan ini mulai berlaku sejak diundangkan pada 5 Agustus 2025. Sebelumnya, Sri Mulyani sudah menegaskan bahwa efisiensi anggaran akan berlanjut pada tahun depan.
Sementara Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga.
"Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan," tuturnya di Istana Kepresidenan, Rabu (6/8/2025).