Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Jepang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 hampir separuh dari 1,2% menjadi 0,7% pada akhir tahun fiskal nanti. Sinyal suramnya pertumbuhan seiring dengan tekanan tarif Amerika Serikat (AS) yang memperlambat belanja modal serta inflasi. Keadaan yang menekan konsumsi rumah tangga serta mengancam pemulihan ekonomi
Melansir Reuters pada Minggu (10/8/2025), dalam estimasi revisi yang disampaikan pada pertemuan Dewan Ekonomi tertinggi Jepang, pemerintah menurunkan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil untuk tahun fiskal 2025 yang berakhir Maret 2026 menjadi 0,7%.
Meski masih di atas perkiraan sektor swasta sebesar 0,5%, proyeksi terbaru ini mencerminkan kekhawatiran bahwa tarif AS akan membuat perusahaan Jepang lebih berhati-hati dalam belanja modal dan menekan ekspor, dua pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara Matahari Terbit itu.
Outlook konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh perekonomian Jepang, juga direvisi turun seiring inflasi yang terus menggerus daya beli.
Anggota sektor swasta dalam dewan tersebut memperingatkan inflasi berpotensi semakin melemahkan belanja konsumen jika kecepatannya meningkat.
“Bank of Japan harus menjalankan mandat stabilitas harga dan secara berkelanjutan mencapai target inflasi 2%,” ujarnya.
Baca Juga
Kemudian, untuk tahun fiskal 2026 yang dimulai pada April 2026, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan sedikit meningkat menjadi 0,9%, dengan keyakinan bahwa perekonomian akan tetap bertumpu pada pemulihan permintaan domestik seiring prediksi pertumbuhan upah melampaui inflasi dan mendorong konsumsi rumah tangga.
Pemerintah mempertahankan proyeksi pencapaian surplus anggaran primer pada 2026 untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, bahkan memperkirakan surplus lebih besar senilai 3,6 triliun yen (US$24,39 miliar) berkat kenaikan penerimaan pajak.
Saldo anggaran primer, yang tidak memasukkan penjualan obligasi baru dan biaya layanan utang, menjadi indikator utama sejauh mana kebijakan dapat dibiayai tanpa menambah utang.
Namun, proyeksi positif tersebut belum memasukkan potensi pemotongan pajak dan pemberian bantuan tunai yang tengah dipertimbangkan pemerintah, di tengah meningkatnya tekanan dari oposisi untuk memperluas belanja guna meredam lonjakan biaya hidup.
Posisi politik Perdana Menteri Shigeru Ishiba semakin melemah setelah koalisinya mengalami kekalahan telak dalam pemilu majelis tinggi bulan ini, menyusul kehilangan mayoritas di majelis rendah pada Oktober tahun lalu.