Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki kewenangan mencadangkan dana hasil efisiensi transfer ke daerah (TKD). Kewenangan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 56/2025. Otonomi fiskal daerah dinilai sudah tidak ada.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai kebijakan PMK 56/2025 akan semakin menekan kemandirian keuangan daerah.
Padahal, sambungnya, selama ini ruang fiskal daerah sudah sempit akibat mandatory spending yang melebar seperti yang diatur UU 1/2025 dan aturan turunannya.
Armand mencontohkan, ketentuan belanja pegawai maksimal 30% dan infrastruktur minimal 40%, serta semakin banyak alokasi yang peruntukannya diatur pusat.
“DAU [Dana Alokasi Umum] sekarang tidak murni block grant, sudah bercampur specific grant. Ada DAU rasa DAK [Dana Alokasi Khusus]. Artinya ruang daerah untuk mengalokasikan belanja sesuai persoalan di wilayahnya makin terbatas. Kalau begini, otonomi daerah secara fiskal ya hampir tidak ada,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
KPPOD mendorong agar rencana efisiensi anggaran pada tahun-tahun mendatang dibicarakan dalam forum pusat-daerah sebelum penetapan APBN. Dengan demikian, pembangunan dan kebijakan fiskal tetap berpihak pada kepentingan daerah.
Baca Juga
Armand mengungkap selama ini keputusan pemotongan TKD selama ini bersifat sepihak, tanpa dialog dengan daerah yang terdampak langsung. Dia mencontohkan, pemerintah daerah tidak diminta pendapat ketika pemerintah pusat memutuskan realokasi anggaran dana TKD hingga Rp50 triliun sesuai Inpres 1/2025 dan kini tata caranya diatur dalam PMK 56/2025.
“Oke lah mungkin pemerintah punya pertimbangan untuk melakukan efisiensi, tetapi perlu juga memperhatikan seperti apa kepentingan daerah,” jelasnya.
Senada, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai kebijakan pencadangan hasil efisiensi dana TKD sesuai PMK 56/2025 akan menggeser keseimbangan hubungan pusat-daerah ke arah kontrol pusat yang lebih dominan atau tersentralisasi, terutama dalam aspek fiskal.
"Prinsip desentralisasi fiskal yang seharusnya memberikan keleluasaan daerah dalam mengelola sumber daya menjadi tereduksi ketika alokasi TKD menjadi instrumen cadangan di pusat," jelas Rizal kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
Dia khawatir jika pola itu terus berlanjut tanpa reformasi tata kelola TKD berbasis kinerja dan transparansi maka secara de facto otonomi fiskal daerah akan tereduksi menjadi sekadar fungsi administratif, bukan instrumen pembangunan yang mandiri.
Bisnis sudah meminta pendapat keterangan sejumlah pejabat Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan terkait nasib otonomi fiskal daerah usai penerbitan PMK 56/2025. Kendati demikian, hingga berita ini tayang, belum ada respons yang diterima Bisnis.
Adapun berdasarkan Pasal 17 ayat (1) PMK 56/2025, efisiensi TKD diberlakukan terhadap alokasi yang digunakan untuk infrastruktur, dana otonomi khusus (otsus) dan keistimewaan daerah, dana yang belum dirinci per daerah dalam APBN tahun berjalan, hingga alokasi yang tidak digunakan untuk pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan juga mencakup TKD lain sesuai arahan presiden.
Sementara dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) diatur bahwa dana TKD hasil efisiensi akan dicadangkan dan tidak disalurkan, kecuali terdapat arahan lain dari presiden.
Dijelaskan bahwa hasil efisiensi TKD dapat berbentuk alokasi per daerah maupun alokasi yang belum dirinci. Dana hasil efisiensi yang dicadangkan akan menjadi dasar penyesuaian rincian alokasi TKD per provinsi/kabupaten/kota atau per bidang, yang kemudian diadopsi dalam APBD masing-masing daerah.
Selain itu, Pasal 19 mengatur mekanisme pergeseran anggaran TKD yang telah dicadangkan ke Subbagian Anggaran Bendahara Umum Negara Belanja Lainnya. Proses ini dilakukan tanpa memerlukan reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan mempertimbangkan kebutuhan anggaran serta karakteristik masing-masing jenis TKD.
Pemerintah juga membuka kemungkinan penggunaan dana hasil efisiensi untuk membiayai belanja pegawai, operasional kantor, pelaksanaan tugas dan fungsi dasar, layanan publik, maupun kegiatan prioritas presiden, dengan persetujuan menteri keuangan.