Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Bakal Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Bagaimana Posisi PPATK?

Payment ID, diluncurkan 17 Agustus 2025, bertujuan meminimalkan kejahatan keuangan dengan memantau transaksi melalui identitas pembayaran terintegrasi NIK.
Komisi III DPR menggelar raker dengan PPATK, KPK, dan BNN, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025)/Bisnis-Annisa Nurul Amara
Komisi III DPR menggelar raker dengan PPATK, KPK, dan BNN, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025)/Bisnis-Annisa Nurul Amara

Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi Payment ID menjadi salah satu cara untuk mempersempit celah kejahatan di sektor keuangan.  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) terkait hal itu.

Payment ID adalah sistem pemantauan transaksi yang rencananya diluncurkan pada 17 Agustus 2025. Secara sederhana, setiap orang akan memiliki identitas pembayaran yang terintegrasi dengan nomor induk kependudukan alias NIK sehingga bank sentral bisa memantau seluruh transaksi baik perbankan, multifinance, pinjaman online hingga dompet elektronik (e-wallet).

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebut bahwa lembaganya memiliki tugas kewenangan untuk menerima laporan transaksi keuangan sekaligus melakukan analisis, hingga meneruskan hasilnya ke penegak hukum. Hal itu ditegaskan dalam Undang-undang (UU) No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Kami koordinasi terus, PPATK senantiasa mendukung program-program Bank Indonesia," jelas Ivan kepada Bisnis, Senin (11/8/2025). 

Ivan tak memerinci lebih lanjut mengenai koordinasi apa yang dilakukan lembaganya terkait dengan Payment ID. Namun, dia memastikan bahwa Presiden Prabowo Subianto memerintahkan jajaran pemerintahannya untuk berkolaborasi. 

"Intinya semua kami di jajaran Pemerintah diperintahkan oleh Bapak Presiden untuk mencurahkan segenap kemampuan terbaik demi kemajuan dan kesejahteraan Bangsa Indonesia. Kolaborasi, sinergitas dan kebersamaan memakmurkan Bangsa Indonesia," tuturnya. 

Lonjakan Transaksi Pidana di Sektor Keuangan

Adapun salah satu inti pekerjaan dari PPATK adalah di antaranya menindaklanjuti ihwal laporan transaksi keuangan mencurigakan atau LTKM. Transaksi keuangan mencurigakan, berdasarkan UU TPPU, merujuk pada transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.

Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.  

Pada periode semester I/2025 saja, jumlah LTKM yang diterima PPATK mencapai sebanyak 85.514 laporan. Puluhan ribu laporan itu diterima dari 503 pihak pelapor. 

Apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada dua tahun sebelumnya saja, angka itu cukup melonjak. Kenaikannya mencapai 32,9% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. 

Sebagai perbandingan, LTKM yang diterima PPATK selama semester I/2023 adalah sebanyak 63.134 laporan dan 64.331 laporan pada semester I/2024.

Berdasarkan kategori pihak pelapor per kelompok industri keuangan, LTKM paling banyak berasal dari bank sejumlah 58.327 laporan selama semester I/2025. Angkanya juga melonjak dari semester I/2024 yakni 38.669 laporan, dan 25.950 laporan pada semester I/2023. 

Kemudian, LTKM paling banyak selanjutnya berasal dari bank umum yaitu 58.234. Bank umum meliputi bank asing, bank campuran, bank milik negara, bank pembangunan daerah dan bank swasta. Bank swasta mendominasi dengan total laporan 48.870.

Ada juga bank perkreditan rakyat sebanyak 93 laporan, serta non-bank 27.014 laporan. 

Untuk kategori non-bank, laporan transaksi keuangan mencurigakan paling banyak berasal dari penyelenggara e-money dan/atau e-wallet. Jumlahnya mencapai 8.450 LTKM. Jumlah itu masih besar apabila dibandingkan dengan salah satu kategori dari bank umum, yakni bank milik negara dengan jumlah laporan lebih sedikit yakni 7.729 pada periode yang sama. 

LTKM berasal dari e-money dan/atau e-wallet juga melonjak dari dua periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pada semester I/2024, LTKM dari subkategori itu hanya sebanyak 6.771 laporan, dan pada semester I/2023 hanya 768 laporan. 

Pada kategori non-bank, LTKM paling banyak setelah e-money dan/atau e-wallet yakni pedagang valuta asing 4.836 laporan, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi 3.632 laporan, penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang 2.915 laporan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi 2.247 laporan serta 1.926 perusahaan pembiayaan. 

Sementara itu, dari seluruh analisis yang dilakukan PPATK sepanjang 2023-2024, perputaran dana terkait dengan tindak empat tindak pidana terbesar mencapai Rp4.260 triliun. Statistik perputaran dana tindak pidana itu didapatkan dari hasil analisis (HA) dan hasil pemeriksaan (HP), yang juga di antaranya dihimpun dari LTKM. 

Empat tindak pidana terbesar dimaksud adalah korupsi, perjudian, penipuan dan peretasan, serta narkotika. Totalnya naik dari 2023 semula berjumlah Rp1.602 triliun, naik menjadi Rp2.658 triliun.

Pada 2023, perputaran uang terkait korupsi sebesar Rp637,8 triliun, penipuan Rp623,4 triliun, perjudian Rp327,8 triliun serta narkotika Rp13 triliun.  Meski demikian, pada 2024, jumlah perputaran dana untuk perjudian serta penipuan dan peretasan turun ke masing-masing Rp359 triliun dan Rp35 triliun.

Sementara itu, lonjakan tertinggi ada pada tindak pidana korupsi dari tahun sebelumnya Rp637,8 triliun meningkat ke Rp2.236 triliun. Kemudian, diikuti oleh narkotika dari Rp13 triliun ke Rp27,1 triliun.

Rencana Penerapan

Adapun, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Dudi Dermawan menjelaskan bahwa Payment ID merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Dalam Payment ID, setiap orang akan memiliki kode unik untuk mengidentifikasi transaksi pembayaran. 

"Payment ID di-generate dari NIK, NIK di-generate dari data kependudukan. Jadi, seluruh data di bank nantinya terkait dengan nomor rekening maka akan ada ekuivalen yang terkait dengan Payment ID-nya," ujar Dudi katanya Juli lalu.

Berdasarkan BSPI 2030, pemanfaatan Payment ID mencakup tiga fungsi. Pertama, kunci identifikasi untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran. 

Kedua, kunci otentifikasi data dalam pemrosesan transaksi. Ketiga, kunci unik dalam proses agregasi antara data profil individu dengan data transaksional. 

Dudi menjelaskan bahwa Payment ID dapat mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan dengan identitas tersebut. Misalnya, BI dapat mengidentifikasi seseorang yang memiliki lebih dari satu rekening bank, memiliki pinjaman/kredit di multifinance, memiliki akun e-wallet dan uang elektronik, hingga memiliki akun pinjaman online atau pinjol.

Integrasi itu membuat otoritas moneter bisa mengetahui aktivitas pembayaran, transfer, dan seluruh transaksi. BI juga bisa mengetahui nominal dan sumber pendapatan seseorang, kewajiban dan utang yang sedang dimiliki, penempatan investasi, hingga aktivitas pinjol. 

Data tersebut menurutnya bisa menjadi acuan untuk menilai kesehatan keuangan seseorang, apakah rasio pinjaman atau kreditnya masih dalam batas aman terhadap total penghasilannya, juga profil keuangan seseorang yang terkait dengan aktivitas berisiko seperti pinjol ilegal. 

"Payment ID ini sangat powerful ... Ini jauh lebih akurat dibandingkan sistem penilaian konvensional seperti SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK]," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro