Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Batu Bara RI ke China Bangkit, Tapi B40 Buat Pengusaha Menjerit

Ekspor batu bara Indonesia ke China terlihat mulai pulih pada awal semester II/2025. Namun, pengusaha menghadapi tantangan biaya operasional yang meningkat.
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023). JIBI/Bisnis/Abdurachman DORONG HILIRISASI BATU BARA
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023). JIBI/Bisnis/Abdurachman DORONG HILIRISASI BATU BARA

Bisnis, JAKARTA — Ekspor batu bara Indonesia mulai mengalami pemulihan usai anjlok pada semester I/2025. Harapan peningkatan ekspor emas hitam itu kini muncul dari permintaan dari China yang mulai meningkat untuk sisa tahun ini.

Asal tahu saja, ekspor batu bara RI belakangan memang tertekan, terutama untuk pasar China. Berdasarkan data Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), ekspor batu bara ke Negeri Tirai Bambu turun sebesar 20,6% yoy sepanjang semester I/2025.

Sementara itu, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mendapati bahwa pengapalan emas hitam RI ke China hanya menyentuh 86,69 juta ton.

Realisasi itu turun sekitar 20,80% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya di level 109,46 juta ton. Meski demikian, ekspor ke negara itu mengalami peningkatan pada awal paruh kedua tahun ini.

Kinerja ekspor batu bara ke China kembali bergairah pada Juli 2025. Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani mengatakan, pengiriman batu bara Indonesia ke Beijing mengalami peningkatan 43% secara bulanan pada Juli 2025 menjadi 15,83 juta ton.

Menurutnya, pertumbuhan ini didorong oleh harga batu bara kalori rendah dan menengah yang kompetitif serta suhu udara tinggi yang meningkatkan konsumsi listrik untuk pendingin ruangan di negara itu.

“Perubahan ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk meningkatkan ekspor ke China jika dapat terus menawarkan harga yang kompetitif dan kualitas produk yang sesuai kebutuhan pasar,” ucap Gita kepada Bisnis dikutip Kamis (14/8/2025).

Industri Masih Dihadapkan Tantangan

Meski pasar mulai bergeliat, Gita menyebut bahwa para pelaku industri masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Salah satunya terkait mandatori penggunaan biodiesel B40.

Pemerintah sejatinya telah menetapkan mandatori penggunaan B40 sejak 1 Januari 2025. Aturan ini mewajibkan industri baik PSO maupun non-PSO pengguna bahan bakar solar mengonsumsi bahan bakar nabati tersebut.

Bila sektor PSO mendapat harga subsidi dari pemerintah, industri non-PSO seperti sektor pertambangan, manufaktur, perkebunan hingga transportasi dan logistik harus menyerap BBN dengan harga non-subsidi.

Gita menilai kondisi ini memberatkan sektor industri. Terlebih harga B40 tidak sama di setiap daerah. Hal ini memicu pembengkakan biaya operasional industri.

Di sektor pertambangan misalnya, APBI memprakirakan minyak nabati itu berkontribusi sekitar 30% dari total biaya operasional. Tekanan biaya operasional ini berlangsung di tengah penurunan permintaan dan harga emas hitam.

“Jadi perlu dipertimbangkan agar industri ini tetap kompetitif. Kami tidak menentang penggunaan B40, namun terkait subsidi FAME [bahan baku biodiesel] kami harapkan dapat dikembalikan seperti semula,” katanya.

Target Produksi Batu Bara RI Terancam Meleset

Di sisi lain, meski permintaan batu bara dari China mulai bergeliat. Gita menilai peningkatan ini belum tentu masif. Oleh karena itu, target produksi pun bisa saja tak tercapai.

Pada 6 bulan pertama tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi produksi emas hitam mencapai 357,6 juta ton. Dari jumlah tersebut, 238 juta ton di antaranya merupakan ekspor dan sisanya 104,6 juta ton untuk dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Pemerintah menargetkan produksi emas hitam dapat mencapai 739,7 juta ton hingga akhir tahun ini. Dari total itu, 239,7 juta ton untuk kebutuhan domestik dan 650 juta ton untuk ekspor.

Dari kacamata APBI, target produksi batu bara dapat saja tercapai hingga akhir tahun. Kendati demikian, target ekspor ditambah dengan DMO diproyeksi mengendur menjadi pada kisaran 450 juta hingga­ 510 juta ton.

Menurut Gita, kondisi ini akan bergantung pada bagaimana Indonesia dapat berkompetisi dari sisi biaya produksi yang saat ini dinilai sudah cukup tinggi.

“Yang perlu dilihat saat ini juga dengan tidak adanya subsidi biodiesel menyebabkan kenaikan cost yang semakin tinggi dan menggerus laba perusahaan dan juga akan mempengaruhi penerimaan negara dari pajak yang turun,” katanya.

Pemerintah Harus Cermat Kelola Produksi Batu Bara

Sementara itu, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo berpendapat, dalam kondisi pasar seperti saat ini, pemerintah perlu cermat dalam mengelola produksi batu bara. 

Menurutnya, produksi batu bara harus diatur dengan menyesuaikan kebutuhan pasar.

"Pemerintah, khususnya ESDM, terpenting bagaimana mengelola produksi batu bara nasional dengan mempertemukan terhadap kondisi pasar dan kondisi industri negara importir," ucap Singgih.

Dia menjelaskan, batu bara lebih banyak digunakan untuk kebutuhan pembangkit listrik sehingga dengan kepentingan yang ada, kondisi manufaktur negara importir menjadi sangat terkait dengan kebutuhan batu bara. 

Singgih menuturkan, jika Purchasing Manufacturing Index (PMI) manufaktur Indonesia terkontraksi (di bawah 50) jelas kebutuhan listrik bagi industri akan menurun dan mengakibatkan permintaan batu bara ikut turun. 

Selain itu, harus juga diakui, negara importir terbesar Indonesia seperti China dan India, jauh memiliki cadangan batu bara di atas Indonesia. Di sisi lain, mudah bagi kedua negara itu untuk meningkatkan produksi nasionalnya. 

Oleh karena itu, lebih baik mengelola produksi saja alih-alih berupaya meningkatkan ekspor. Dengan begitu, harga batu bara pun bisa terkendali.

"Menjadi tidak tepat kalau tujuan utama untuk meningkatkan kembali ekspor batu bara," ucap Singgih.

Terkait peningkatan ekspor batu bara ke China pada Juli 2025, Singgih tak mau buru-buru menyebut itu sinyal positif. Menurutnya, semua bakal bergantung pada bagaimana kondisi China ke depan.

Dia menyebut, harga domestik China yang lebih tinggi, memang bisa jadi mendorong peningkatan impor batu bara dari Indonesia. Namun jika bisa saja kondisi ini terjadi bukan sebagai sinyal positif jangka panjang. 

"Apalagi China dan India sebagai pasar ekspor terbesar Indonesia masih tetap akan menaikkan produksi batu bara nasional," imbuh Singgih.

Oleh karena itu, sinyal positif bagi industri pertambangan Indonesia ke depan tetap tergantung bagaimana situasi produksi dan harga batu bara di dalam negeri China. 

"Sekaligus juga bagaimana pemerintah Indonesia mampu mengelola besarnya produksi batu bara nasional ke depan, khususnya irisannya dengan total produksi batu bara oleh negara eksportir lainnya dan proyeksi kebutuhan yang ada," jelas Singgih.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro