Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramai Daerah Kerek Tarif Pajak, Tambal Sulam Siasati Efisiensi?

Sejumlah daerah menaikkan tarif PBB-P2 hingga ribuan persen untuk menambah pendapatan di tengah pemangkasan anggaran pusat. Kebijakan ini menuai protes warga.
Surya Dua Artha Simanjuntak, Muhammad Noli Hendra
Kamis, 14 Agustus 2025 | 10:30
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa usai terjadi kericuhan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Unjuk rasa yang berakhir ricuh itu karena massa kecewa dan menilai tuntutan mereka agar Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya tidak segera dipenuhi. ANTARA FOTO/Aji Styawan
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa usai terjadi kericuhan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Unjuk rasa yang berakhir ricuh itu karena massa kecewa dan menilai tuntutan mereka agar Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya tidak segera dipenuhi. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah pemerintah daerah (pemda) mengerek tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) dari ratusan hingga ribuan persen. Kenaikan tarif pajak itu dilakukan untuk mengisi pendapatan asli daerah di tengah ancaman pemangkasan anggaran transfer ke daerah oleh pemerintah pusat.

Sekadar catatan, ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat cukup besar. Kalau merujuk data terbaru Kementerian Keuangan, dari total realisasi pendapatan daerah senilai Rp648,16 triliun, 64,39% atau Rp417,38 triliun-nya merupakan dana transfer pusat ke daerah. Sementara itu porsi PAD adalah 31,4% atau senilai Rp204,17 triliun.

Adapun Kabupaten Pati adalah salah satu daerah yang memiliki ketergantungan terhadap TKD yang cukup tinggi. Menariknya, kisruh kenaikan PBB Pati terjadi di tengah riuh efisiensi. Bupati Pati Sudewo bahkan menaikkan tarif PBB hingga 250%. Sudewo menuturkan bahwa keputusan menaikkan tarif pajak tersebut untuk mempercepat pembangunan di Pati. Dia secara spesifik menyebut dua agenda yang menjadi prioritasnya.

"Beban kami pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, pertanian, perikanan, semuanya membutuhkan anggaran yang sangat tinggi," kata Sudewo.

Kelak keputusan ini berbuntut panjang. Rakyat Pati menentang kebijakan Bupati Sudewo. Meski kemudian dibatalkan, masyarakat Pati tetap menggeruduk kantor Bupati dan DPRD pada Rabu 13 Agustus 2025. Tuntutan berkembang dari semula menolak kenaikan tarif PBB menjadi pemakzulan terhadap Bupati Sudewo. 

Namun demikian, Pati bukan satu-satunya kabupaten yang menaikan tarif PBB. Cirebon, kota di Jawa Barat, bahkan mengerek pajak hingga 1.000%. Angkanya 4 kali lipat dari tarif yang sedianya diterapkan Bupati Pati. Masyarakat pun telah turun ke jalan untuk menentang kenaikan tarif PBB di Kota Cirebon. Mereka menuntut supaya pemerintah membatalkan Peraturan Daerah alias Perda No.1/2024 yang menjadi dasar pengenaan PBB 1.000%.

Kabupaten Semarang juga disebut-sebut menaikan tarif PBB hingga 400%, meskipun kabar ini langsung dibantah oleh Pemkab Semarang. 

Ilustrasi demo di Kabupaten Pati./Antara
Ilustrasi demo di Kabupaten Pati./Antara

Terlepas dari dinamika yang terjadi di tingkat lokal, fenomena kenaikan pungutan PBB itu mencuat ketika pemerintah pusat sedang gencar-gencarnya melakukan efisiensi anggaran. Seperti diketahui bahwa melalui Peraturan Menteri Keuangan alias PMK No.56/2025, pemerintah akan menyasar beberapa pos anggaran dalam transfer ke daerah. Sasaran utamanya anggaran infrastruktur hingga dana otonomi khusus alias otsus. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam jawaban resmi kepada Bisnis pekan lalu juga telah menyampaikan bahwa beleid baru itu merupakan petunjuk teknis pelaksanaan efisiensi anggaran sesuai dengan instruksi presiden sebelumnya.

"Besaran efisiensi 2025 sesuai Inpres 1/2025. Dalam Inpres tersebut, Presiden secara tegasmenginstruksikan kepada Menkeu untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan efisiensi. PMK ini ditetapkan untuk memberikan pedoman teknispelaksanaan kebijakan efisiensi berdasarkan arahan Presiden."

Sekadar catatan bahwa Inpres No.1/2025 mengatur mengenai efisiensi anggaran. Ada dua pos belanja yang menjadi sasaran efisiensi yakni belanja kementerian dan lembaga senilai Rp256,1 triliun dan TKD senilai Rp50,59 triliun. Total efisiensi belanja pemerintah mencapai Rp306,69 triliun. 

Adapun khusus TKD, ada 4 jenis belanja yang menjadi sasaran efisiensi. Pertama, kurang bayar dana bagi hasil alias DBH senilai Rp13,9 triliun. Kedua, dana alokasi umum alias DAU yang penggunannya sudah ditentukan di bidang pekerjaan umum senilai Rp15,67 triliun. Ketiga, dana alokasi khusus alias DAK fisik sebesar Rp18,3 triliun. Keempat, dana otonomi khusus atau otsus senilai Rp509,45 miliar. Kelima, dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta senilai Rp200 miliar. Keenam, dana desa senilai Rp2 triliun. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Masinton Pasaribu mengusulkan pemerintah pusat menyusun klaster daerah berdasarkan kemampuan keuangan untuk menghindari efek pemangkasan anggaran yang tidak proporsional.

Dia mencontohkan, PAD di bawah Rp100 miliar, PAD Rp100 miliar sampai Rp250 miliar, dan PAD di atas Rp250 miliar. Dengan demikian, kebijakan efisiensi TKD bersifat lebih tertarget dan adil. Masinton juga menyoroti penyempitan kewenangan otonomi daerah yang ikut menggerus potensi pendapatan. Dia mencontohkan pembatasan kewenangan pemda untuk mengelola wilayah laut dan sumber daya alam lokal yang selama ini berpotensi menambah PAD.

“Kita memiliki wilayah laut yang sesungguhnya dapat dikelola untuk menambah pendapatan daerah, namun sekarang kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan di laut. Begitupun dengan pertambangan galian C, hutan, dan lain-lain,” katanya.

Kewenangan Pemda 

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menegaskan bahwa kebijakan Bupati Pati Sudewo yang sempat menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tahun 2025 hingga 250% sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah.

"Itu kan [kebijakan menaikkan PBB-P2] kewenangan daerah, ya. Jadi, harusnya disesuaikan di level daerah," kata Anggito saat ditemui di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (13/8/2025) dilansir dari Antara.

Meski begitu, Anggito mengaku belum mengetahui secara pasti perihal kebijakan tersebut maupun dampak dari kebijakan yang telah dibatalkan oleh Bupati Pati tersebut. 

"Saya enggak tahu, ya, persisnya. Karena itu kan dievaluasi sama provinsi, ya. Jadi, provinsinya harus bisa mengevaluasi dulu," ujarnya.

Menurut dia, Kementerian Keuangan tetap berperan dalam evaluasi, akan tetapi itu dilakukan setelah melalui proses di tingkat provinsi. "Kalau Kemenkeu, iya [mengevaluasi], tetapi kan harusnya di level provinsi dulu," ucapnya.

Anggito menambahkan, penentuan tarif PBB-P2 yang tertuang dalam peraturan daerah (Perda) kabupaten merupakan domain pemerintah setempat. Namun untuk mekanisme evaluasinya tetap berjenjang.

"Kewenangan itu ada mulai dari kabupaten, lalu ke provinsi. Kalau ada evaluasi dilakukan oleh provinsi, provinsi dilakukan oleh Kemendagri. Nah, kita merupakan bagian dari evaluasi yang dilakukan bersama-sama dengan Kemendagri, ya," ucap dia.

Saat disinggung bahwa tarif PBB-P2 di Kabupaten Pati disebut belum pernah naik selama belasan tahun, Anggito kembali menegaskan bahwa mekanisme evaluasi kebijakan semacam itu tetap harus melalui pemerintah provinsi.

Anggito juga enggan memberikan jawaban soal kebijakan menaikkan tarif PBB-P2 hingga hampir tiga kali lipat tersebut bisa berpengaruh pada inflasi daerah Pati. 

Dampak ke Daerah 

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Andalas Prof. Syafruddin Karimi mengatakan pemerintah daerah perlu bertindak proaktif menyikapi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme efisiensi transfer ke daerah (TKD).

Dia menjelaskan dari PMK No.56/2025 itu dampak ke ekonomi dan otonomi daerah terasa melalui pelemahan efek pengganda belanja yang tertunda, terutama pada proyek infrastruktur dan rantai pasok lokal. Artinya, daerah akan melihat kebijakan efisiensi TKD ini sebagai sinyal disiplin fiskal sekaligus risiko terhadap kepastian arus kas.

Menurutnya di satu sisi, ruang pemotongan jelas, TKD untuk infrastruktur, otonomi khusus/keistimewaan, TKD yang belum dirinci per daerah, serta TKD non-layanan dasar pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, hasil efisiensi itu dicadangkan dan tidak otomatis turun ke kas daerah, kecuali ada arahan Presiden, sehingga perencanaan APBD menjadi lebih bergantung pada keputusan pusat dan waktu eksekusi prioritas nasional. 

“Ini mendorong kehati-hatian, tetapi juga menuntut kesiapan proyek yang benar-benar matang agar berpeluang mendapatkan kembali pendanaan saat ada arahan,” katanya, Selasa (12/8/2025). 

Syafruddin menyampaikan dampak ke ekonomi dan otonomi daerah terasa melalui pelemahan efek pengganda belanja yang tertunda, terutama pada proyek infrastruktur dan rantai pasok lokal. 

Penahanan dana efisiensi dan opsi pergeseran ke Sub BA BUN Belanja Lainnya berarti kontraktor, UMKM pemasok, dan lapangan kerja lokal menghadapi jeda realisasi, sementara pemerintah pusat dapat mengkonsolidasikan anggaran untuk prioritas Presiden. 

“Secara tata kelola, ini mengurangi diskresi daerah dalam jangka pendek, meski aturan menyatakan efisiensi mempertimbangkan tugas, fungsi, dan kewenangan daerah,” ujarnya.

Dikatakannya keseimbangan antara koordinasi nasional dan kemandirian fiskal daerah akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat arahan presiden turun dan mekanisme pergeseran serta pembukaan kembali pendanaan berjalan. Oleh karena itu, dia menyarankan untuk pemerintah daerah agar perlu bertindak proaktif, lakukan reprioritisasi APBD untuk menjaga layanan dasar, bangun skenario kas konservatif, dan percepat hanya paket pekerjaan yang benar-benar siap (DOK lengkap, lahan bebas, desain final) agar layak didanai ketika ada arahan. 

“Segera sesuaikan sisi pendapatan transfer sesuai rincian alokasi baru dari Menkeu dan revisi dokumen anggaran, sambil menata ulang kontrak dan termin pembayaran agar risiko likuiditas pelaksana lokal tetap terkendali,” sebutnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro