Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ruang Gerak Daerah Kian Terbatas, Dihimpit Kapasitas Fiskal dan Efisiensi

Kebijakan efisiensi anggaran transfer dana ke daerah (TKD) dikhawatirkan meningkatkan ketimpangan pembangunan karena banyak daerah belum mandiri fiskal.
Surya Dua Artha Simanjuntak, Dany Saputra
Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:37
Presiden Prabowo Subianto didampingi Mendagri Tito Karnavian dalam agenda pelantikan 961 kepala daerah periode 2025-2030 di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis (20/2/2025). Dok Youtube Setpres RI
Presiden Prabowo Subianto didampingi Mendagri Tito Karnavian dalam agenda pelantikan 961 kepala daerah periode 2025-2030 di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis (20/2/2025). Dok Youtube Setpres RI

Bisnis.com, JAKARTA –Sejumlah daerah mengeluhkan kebijakan efisiensi anggaran transfer dana ke daerah (TKD). Mereka khawatir kebijakan itu akan meningkatkan ketimpangan pembangunan karena tidak semua daerah mandiri secara fiskal. 

Sekadar catatan bahwa porsi dana transfer ke daerah alias TKD masih cukup dominan dalam struktur pendapatan daerah. Kalau mengacu data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi pendapatan daerah per 12 Agustus 2025 tercatat sebesar Rp648,16 triliun.

Jumlah itu terdiri dari pendapatan asli daerah senilai Rp204,17 triliun, TKD Rp417,38 triliun, dan pendapatan lainnya senilai Rp26,06 triliun. Peran TKD kalau merujuk data tersebut hampir mencakup 64,39% dari total pendapatan daerah.

Persoalannya dengan postur pendapatan daerah tersebut, sangat sedikit provinsi atau kabupaten yang memiliki kemandirian secara fiskal. Bisnis mencatat bahwa sampai dengan tahun 2023 lalu, banyak daerah yang memiliki kapasitas fiskal sedang dan rendah. Di tingkat provinsi, misalnya, hanya 3 daerah yang memiliki kapasitas fiskal sangat tinggi. Ketiga daerah itu antara lain Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua Barat.

Selain itu, provinsi yang memiliki kapasitas fiskal tinggi hanya sebanyak 5 daerah. Sementara sisanya, terbagi dalam tiga kategori yakni sedang 12, rendah 16, dan sangat rendah sebanyak 2 daerah. Data ini mengonfirmasi bahwa mayoritas provinsi di Indonesia memiliki kapasitas fiskal rendah dan sedang.

Postur APBD Target  Realisasi Persentase
Pendapatan Daerah 1.345,37 648,16 48,18
-PAD 402,86 204,17 50,68
-TKD 884,03 417,38 47,21
-Lainnya  58,47 26,6 45,50
Belanja Daerah 1.394,32 557,2 39,96

Sumber: Kemenkeu, dalam triliun

Jumlah tersebut belum menghitung sub daerah atau daerah tingkat II, dimana jumlah kapasitas fiskal sedang dan rendah juga masih dominan. Setidaknya ada sekitar 120 daerah yang memiliki kapasitas fiskal sedang dan rendah di kisaran angka 150-an. Angka ini mengonfirmasi bahwa tidak semua daerah memiliki kemandirian fiskal, malah yang dominan justru angka sedang dan rendah.

Provinsi Jakarta dan Jawa Tengah bisa menjadi ilustrasi yang timpang untuk membandingkan daerah yang mandiri secara fiskal dengan daerah yang masih tergantung dengan transfer dana dari pusat.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa sampai 12 Agustus 2025 lalu, Jakarta mencatat pendapatan daerah senilai Rp44,49 triliun. Mayoritas sumber pendapatan Jakarta berasal dari PAD senilai Rp31,4 triliun. Jumlah transfer dana dari pusat dalam bentuk TKD hanya sebesar Rp13,09 triliun.

Sebaliknya Jawa Tengah, dengan jumlah pendapatan daerah senilai Rp58,8 triliun, PAD-nya hanya Rp20,7 triliun, transfer dana dari pusat cenderung besar yakni sebanyak Rp35,9 triliun. Sisanya adalah pendapatan lainnya yang tercatat sebesar Rp2,1 triliun.

Daerah Paling Banyak Dirugikan

Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu mengemukakan bahwa kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kecil akan menjadi pihak paling dirugikan apabila pemangkasan TKD dilakukan secara seragam.

“Daerah-daerah seperti Kabupaten Tapanuli Tengah yang PAD-nya di bawah Rp100 miliar akan sangat terdampak pembangunannya jika dilakukan pemangkasan TKD dan perlu dipertimbangkan kembali agar pembangunan di daerah tidak mengalami hambatan,” ujar Masinton kepada Bisnis, Selasa (12/8/2025).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) ini pun mengusulkan pemerintah pusat menyusun klaster daerah berdasarkan kemampuan keuangan untuk menghindari efek pemangkasan anggaran yang tidak proporsional.

Dia mencontohkan, PAD di bawah Rp100 miliar, PAD Rp100 miliar sampai Rp250 miliar, dan PAD di atas Rp250 miliar. Dengan demikian, kebijakan efisiensi TKD bersifat lebih tertarget dan adil.

Masinton juga menyoroti penyempitan kewenangan otonomi daerah yang ikut menggerus potensi pendapatan. Dia mencontohkan pembatasan kewenangan pemda untuk mengelola wilayah laut dan sumber daya alam lokal yang selama ini berpotensi menambah PAD.

“Kita memiliki wilayah laut yang sesungguhnya dapat dikelola untuk menambah pendapatan daerah, namun sekarang kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan di laut. Begitupun dengan pertambangan galian C, hutan, dan lain-lain,” katanya.

Jangan Ganggu Pertumbuhan 

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede mengatakan, langkah efisiensi yang dilakukan pemerintah di tengah melebarnya defisit itu penting. Namun, penghematan belanja pemerintah harus dipastikan tidak mematikan pemulihan.

"Dalam konteks outlook defisit 2025 yang diperkirakan melebar ke 2,78% PDB (sekitar Rp662 triliun), langkah efisiensi ini penting untuk menjaga disiplin fiskal tanpa mematikan pemulihan," jelasnya kepada Bisnis, dikutip Selasa (12/8/2025).

Sebagaimana diketahui, data PDB kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu menunjukkan bahwa belanja pemerintah terkontraksi hingga 0,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan tahun lalu.

Namun demikian, PDB menurut pengeluaran kategori pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi melonjak hingga 6,99% yoy atau tertinggi sejak kuartal II/2021. Lonjakan pertumbuhan investasi pada tiga bulan kedua 2025 itu ditopang oleh kenaikan belanja modal pemerintah.

Hasilnya, terang Josua, mesin pertumbuhan bergeser dari belanja operasional ke belanja yang berorientasi aset/kapasitas. Dia menilai hal itu terlihat dari pertumbuhan negatif konsumsi pemerintah, sedangkan pada periode yang sama, investasi tumbuh hampir 7% yoy dan penguatan sektor konstruksi konsisten dengan meningkatnya public capex, atau capital expenditure (belanja modal).

"Dengan kata lain, kontraksi konsumsi pemerintah pada 2Q25 merupakan konsekuensi transisi komposisi belanja yang—bila eksekusinya rapi—lebih pro-pertumbuhan," terangnya.

Kendati demikian, Direktur Ekonomi Digital pada Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda tetap menyoroti bahwa harusnya belanja pemerintah tetap bisa menjadi stimulus ketika daya beli masyarakat masih turun.

Misalnya, belanja di sektor perhotelan atau sektor transportasi dinilai bisa menjadi stimulus bagi ekonomi daerah. Dia pun mengamini efisiensi awal tahun, yang notabenenya menargetkan pos-pos anggaran dimaksud, berdampak negatif setidaknya ke perekonomian hingga kuartal II/2025.

"Sebagai mesin stimulus utama dari pemerintah, belanja negara gagal memberikan dampak yang signifikan. Meskipun ada anggaran yang sebagian dibuka oleh pemerintah. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah masih minus atau terkontraksi. Padahal seharusnya ketika daya beli masyarakat masih turun, belanja pemerintah bisa menjadi stimulus yang tepat bagi perekonomian," terang Nailul kepada Bisnis.

Untuk itu, dia berharap pemerintah akan menggeber stimulus perekonomian pada kuartal III dan IV untuk belanja modal dan barang yang dapat menggerakkan perekonomian.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro