Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Nota Keuangan, Ini Tren Defisit dan Penerimaan Pajak 5 Tahun Terakhir

Presiden Prabowo akan membacakan Nota Keuangan 2026, menyoroti tren defisit APBN dan penerimaan pajak yang fluktuatif.
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan keterangan pers di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (16/7/2025). ANTARA/Mentari Dwi Gayati
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan keterangan pers di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (16/7/2025). ANTARA/Mentari Dwi Gayati

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto akan membacakan Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RUU APBN 2026 dalam rapat paripurna DPR pada Jumat (15/8/2025) esok.

Sidang penyampaian nota keuangan merupakan momentum penting dalam siklus penganggaran nasional. Melalui pidato ini, presiden akan memaparkan arah kebijakan fiskal, target pertumbuhan ekonomi, proyeksi penerimaan negara, alokasi belanja, hingga kebijakan pembiayaan untuk tahun depan.

Penerimaan pajak dan defisit APBN pun menjadi dua poin yang akan menjadi sorotan pada tahun depan. Apalagi, belakangan capaian penerimaan pajak kerap turun secara tahunan. Pemerintah pusat juga melakukan efisiensi anggaran untuk biayai program prioritas yang berpotensi perlebar defisit APBN.

Pada semester I/2025, kinerja APBN 2025 mencatatkan defisit sebesar Rp197 triliun atau setara 0,81% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka itu masih berada di bawah target defisit sepanjang tahun sebesar 2,53% dari PDB.

Sementara dalam lima tahun terakhir, realisasi defisit APBN mengalami fluktuasi. Pada 2020 atau awal pandemi Covid-19, defisit mencapai Rp947,7 triliun atau setara 6,09% dari PDB.

Tiga tahun setelahnya, defisit terus melandai yaitu Rp775,06 triliun atau 4,65% dari PDB pada 2021; Rp460,42 triliun atau 2,35% dari PDB pada 2022; dan Rp336,29 atau 1,65% dari PDB pada 2023. Hanya saja pada tahun lalu atau 2024, defisit kembali mendalam yaitu Rp552,82 triliun atau 2,29%.

Adapun saat memberi paparan ke Badan Anggaran DPR pada bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan proyeksi pelebaran defisit APBN 2025 menjadi Rp663 triliun atau 2,78% dari PDB. Artinya, tren defisit yang makin dalam akan berlanjut pada tahun ini.

Sementara itu, penerimaan pajak yang merupakan sumber utama pendapatan negara baru mencapai Rp837,8 triliun atau baru 38% dari target tahunan sebesar Rp2.189,3 triliun pada semester I/2025. Angka ini turun 6,2% dari periode yang sama tahun lalu. 

Jika ditarik lima tahun terakhir penerimaan pajak kerap naik dan mencapai target. Hanya pada 2020, penerimaan pajak cuma capai Rp1.072,1 triliun atau cuma setara 89,4% dari target APBN

Setelahnya, penerimaan pajak cenderung naik yaitu Rp1.278,7 triliun atau setara 104% dari target APBN pada 2021; Rp1.716,8 triliun atau setara 115,6% dari target APBN pada 2022; Rp1.867,9 triliun atau setara 102,7% dari target APBN pada 2023; dan kembali naik Rp1.932,4 triliun meski hanya setara 97,2% dari target APBN pada 2024.

Kisi-kisi Postur RAPBN 2026

Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah memberi bocoran mengenai kisaran target dalam postur RAPBN 2026. Said menyebut bahwa RAPBN 2026 memiliki tantangan besar di tengah ketidakpastian ekonomi global dan keterbatasan ruang fiskal.

Said menjelaskan, berdasarkan pembahasan awal bersama pemerintah pada Juli 2025, pendapatan negara diperkirakan berada di kisaran Rp3.094–Rp3.114 triliun, sedangkan belanja negara Rp3.800–Rp3.820 triliun. Defisit anggaran diproyeksikan sebesar 2,53% terhadap PDB atau sekitar Rp706 triliun.

Postur tersebut lebih tinggi dibanding prognosis APBN 2025, yang diperkirakan mencatat pendapatan negara Rp2.865,5 triliun dan belanja negara Rp3.527,5 triliun dengan defisit Rp662 triliun (2,78% PDB).

“Target pendapatan dan belanja negara pada RAPBN 2026 yang meningkat sangat menantang bagi pemerintah. Apalagi dunia usaha di seluruh dunia harus mulai menyesuaikan dengan kebijakan tarif Presiden Trump dan konflik geopolitik tak kunjung lerai,” ujar Said dalam keterangannya, Senin (11/8/2025). 

Menurutnya, tantangan di dalam negeri mencakup pemulihan daya beli masyarakat yang belum optimal, hilangnya setoran dividen BUMN sekitar Rp80 triliun pascarevisi UU BUMN, hingga kebutuhan menjaga momentum ekspor. Said menekankan perlunya pemerintah dan pelaku usaha mencari pasar nontradisional untuk mengurangi ketergantungan pada negara tujuan ekspor utama.

RAPBN 2026 juga disebut menjadi momentum penting untuk menjalankan program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Sekolah Rakyat, hingga pemeriksaan kesehatan gratis.

“Secara teknis, program ini tidak mudah, tetapi keberhasilannya bisa menjadi game changer bagi peningkatan kualitas SDM generasi mendatang. Saat ini, 54% angkatan kerja kita hanya lulusan SMP ke bawah,” ujar Said.

Lebih lanjut, legislator asal Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini mengingatkan bahwa pembiayaan pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Pemerintah perlu memperluas skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) untuk menarik investasi swasta di berbagai proyek yang memungkinkan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro