Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Buruh Wanti-Wanti Ancaman PHK Massal Buntut HGBT Dibatasi

KSPN mengungkap risiko PHK massal buruh akibat pembatasan dan kenaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk industri.
Sejumlah buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Aksi yang diikuti oleh ratusan buruh tersebut mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam melindungi industri lokal, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga persaingan usaha yang tidak sehat.
Sejumlah buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Aksi yang diikuti oleh ratusan buruh tersebut mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam melindungi industri lokal, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga persaingan usaha yang tidak sehat.

Bisnis.com, JAKARTA — Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) memprediksi bahwa badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan terjadi di Indonesia dalam satu tahun ke depan.

Presiden KSPN Ristadi menyoroti regulasi pemerintah sebagai salah satu variabel yang berpengaruh terhadap kondisi industri dalam negeri, yang berimplikasi langsung dengan tingkat pengangguran.

“Saya kira tren ke depan dalam satu tahun ini PHK akan masih terus terjadi, tinggal nanti soal fluktuasinya apakah lebih besar dari kemarin atau tidak,” kata Ristadi kepada Bisnis, Senin (18/8/2025).

Terbaru, pihaknya menerima informasi bahwa pemerintah akan membatasi dan menaikkan harga gas bumi tertentu (HGBT). Hal ini diperkirakan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha industri padat energi seperti keramik, baja, hingga kaca.

Sebelumnya, sejumlah pelaku industri mengeluhkan kondisi pasokan gas yang tidak stabil, terlebih untuk kebijakan gas murah industri atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Alhasil, pengusaha harus menanggung beban harga gas regasifikasi yang lebih mahal.

Adapun, kebijakan gas murah industri atau harga gas bumi tertentu (HGBT) tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025 yang ditandatangani Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 26 Februari 2025.

Mengacu beleid tersebut, pemerintah mematok harga gas yang lebih mahal dari periode sebelumnya yakni US$6,5 per MMbtu menjadi US$7 per MMbtu.

PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) sebelumnya memberi sinyal adanya defisit pasokan gas yang dikelola oleh perusahaan. Hal ini seiring dengan penurunan alami produksi gas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), keandalan infrastruktur, hingga aspek harga.

Menanggapi hal tersebut, Ristadi mengatakan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan saat ini terdapat sekitar 100.000 hingga 150.000 tenaga kerja yang bergelut di industri padat energi seperti keramik, baja hingga kaca yang dikhawatirkan dapat terkena PHK.

“Itu [buruh] juga akan terancam kalau kemudian suplai energinya itu tidak konsisten dan kemudian harganya akan dinaikkan,” jelasnya.

Aturan Impor

Lebih lanjut, Ristadi mengatakan para buruh turut mengamati arah kebijakan investasi pemerintah. Dia menilai kebijakan yang tepat dapat menjaga keberlangsungan sektor industri yang masih resilien pada saat ini.

Dia mencontohkan perihal pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor belum lama ini, yang dinilai sebagai bentuk pengendalian atas membeludaknya produk luar negeri di Tanah Air.

KSPN meyakini kebijakan seperti itulah yang dapat memperpanjang napas industri dalam negeri dan pada gilirannya menurunkan tingkat pengangguran.

“Ya mudah-mudahan kalau ini kemudian dijalankan dengan serius, on the track, saya kira ini bisa menjadi harapan,” pungkas Ristadi.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam survei terbarunya mengungkap bahwa lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerjanya imbas ketidakpastian ekonomi yang tengah terjadi saat ini. Kondisi ini diperkirakan terus berlangsung ke depannya.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, situasi ekonomi global yang terus berubah, kondisi geopolitik yang semakin tinggi, hingga proyeksi pertumbuhan yang terus menurun telah membuat banyak perusahaan tidak memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan.

“Akhirnya, banyak yang bersikap dengan menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru,” kata Shinta dalam sambutannya di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro