Bisnis.com, JAKARTA - Industri kimia dasar anorganik nasional mengaku kewalahan berproduksi akibat kelangkaan pasokan gas dan kebijakan penurunan kuota gas industri murah (HGBT).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Kimia Dasar Anorganik Indonesia (APKIDA) Halim Chandra menilai pengumuman penurunan kuota HGBT sebesar 48% oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) terlalu mendadak, sehingga merugikan pelaku industri.
"Kebijakan ini diberlakukan melalui surat PGN tertanggal 12 Agustus 2025, efektif sejak 13 Agustus 2025, tanpa memberikan ruang dan waktu bagi industri untuk melakukan penyesuaian operasional maupun perencanaan produksi," jelasnya dalam keterangan resmi, Rabu (20/8/2025).
APKIDA berharap ada solusi berkeadilan atas fenomena ini, termasuk penjelasan soal kelangkaan dan naik-turunnya tekanan gas.
Terlebih, pelaku industri bisa lebih boncos apabila masalah ini berlarut, karena setiap pemakaian di atas kuota akan dikenakan harga gas regasifikasi yang jauh lebih tinggi, yaitu US$14,95 per MMBTU.
"Beberapa pabrik anggota kami mengalami penurunan tekanan gas dan perubahan jadwal suplai secara mendadak. Jadi ini bukan hanya soal harga, tapi soal kontinuitas produksi," tegas Halim.
Baca Juga
Sebelumnya, beberapa media memang telah melaporkan bahwa PT PGN (PGAS) tengah mengalami tantangan dalam menyalurkan gas akibat keterbatasan pasokan.
APKIDA menilai kondisi ini bisa berdampak serius terhadap industri kimia dasar, sektor yang menjadi fondasi bagi manufaktur nasional, mulai dari pupuk, tekstil, hingga baterai kendaraan listrik.
"Kalau masalah ini berlarut, kita bisa kehilangan momentum hilirisasi dan justru semakin bergantung pada impor produk kimia. Kami meminta pasokan gas industri dijadikan prioritas nasional, sebagaimana listrik," tambahnya.
Gas bumi adalah energi vital bagi industri, dan kebijakan yang tidak konsisten akan menggerus kepercayaan investor. Pemerintah harus segera bertindak untuk memastikan pasokan dan harga gas yang adil dan kompetitif.
APKIDA pun mendesak penghentian segera kebijakan pemotongan kuota HGBT secara sepihak, serta pemulihan pasokan sesuai alokasi Kepmen ESDM yang berlaku.
Selain itu, perlu transparansi mekanisme pasokan dan harga gas, termasuk rencana jangka panjang dan dialog terbuka antara pemerintah, PGN, dengan para asosiasi industri untuk mencari solusi berkeadilan.