Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengeluhkan sejumlah kebijakan yang dinilai belum konsisten dalam implementasinya, salah satunya terkait harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk bahan baku industri.
Untuk diketahui, kebijakan HGBT resmi dilanjutkan tahun ini melalui Keputusan Menteri ESDM No 76/2025 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu yang mulai berlaku pada Februari 2025. Adapun, untuk gas sebagai bahan baku dipatok sebesar US$6,5 per MMbtu dan gas sebagai bahan bakar US$7 per MMbtu.
Sekjen Inaplas Fajar Budiono mengatakan meski aturan tersebut telah diberlakukan, pasokan gas yang mestinya digulirkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tak berjalan optimal. Pelaku industri masih dikenakan alokasi kuota gas tertentu dalam pemakaiannya.
“Inkonsistensinya itu masih ada. Meskipun Kepres sudah turun, tapi PGN ya masih memberlakukan kuota dengan alasan bahwa pasokan gasnya terbatas. Tapi yang menjadi berbeda adalah yang non-PGN itu masih aman-aman kerja. Hanya PGN saja terutama di Jawa Barat,” kata Fajar dalam Bisnis Indonesia Forum, Rabu (21/5/2025).
Untuk itu, Inaplas berharap pasokan gas domestik dapat meningkat seiring dengan dihentikannya ekspor gas ke Singapura dan dioptimalkan untuk mengisi kekosongan gas di jalur Sumatra-Jawa.
Di sisi lain, pihaknya kini juga mengandalkan energi listrik untuk operasional produksi. Penggunaan listrik dinilai lebih murah dan minim hambatan.
Baca Juga
"Ya Alhamdulillah sekarang PLN surplus ya. Jadi kita sudah bisa investasi dan ekspansi lagi,” ungkapnya.
Bahkan, dia menekankan bahwa kualitas listrik dari PLN kini cukup bisa diandalkan dengan teknologi baru. Dari sisi harga, listrik dari PLN juga dianggap paling kompetitif.
Namun demikian, tantangan terbesar lainnya adalah terkait lokasi pabrik. Industri petrokimia memerlukan pelabuhan laut dalam untuk menerima bahan baku dalam jumlah besar.
“Bahan baku kita sekali datang 50.000 ton. Jadi harus pakai kapal besar, sehingga butuh laut yang dalam. Makanya industri petrokimia itu cuma ada di cluster tertentu. Gak bisa menyebar kemana-mana. Ketika terganggu, gak bisa pindah ke tempat lain. Gak bisa pindah ke Batang, ke Kendal,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, Inaplas menegaskan pentingnya kenyamanan dan keamanan bagi industri karena keterbatasan lokasi dan tingginya biaya logistik.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti polemik bahan bakku garam industri yang hingga saat ini belum dapat dipenuhi dari produksi nasional. Tak hanya dari segi kuantitas, kualitas garam industri juga disebut belum memenuhi standar.
"Garam industri butuh kemurnian 99,99% agak berat disana kalaupun dipaksakan garam lokal dengan kada NaCl 99% harganya passti akan 2 kali lipat," tuturnnya.
Sebagai informasi, total produksi petrokimia mencapai 3,1 juta ton pada kuartal I/2025 dengan utilitas produksi 60%. Menurut Fajar tertekannya utilitas saat ini dikarenakan kenaikan impor barang jadi plastik sebesar 10% dan penutupan pabrik tekstil sebanyak 15 unit awal tahun ini.