Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengungkap dampak dari penerapan bea masuk antidumping (BMAD) pada produk impor Biaxially Oriented Polypropylene (BOPP) atau lembaran plastik dari perusahaan asal China dan Malaysia.
Kebijakan BMAD tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.60/2024, di mana beleid ini mulai berlaku setelah 10 hari kerja, terhitung sejak tanggal diundangkan pada 17 September 2024.
Sekjen Inaplas Fajar Budiono mengatakan, stok barang yang diimpor dari perusahaan negara tersebut saat ini masih menggunakan barang stok lama dan masih dalam perjalanan yang belum dikenakan BMAD.
"Kira-kira 1-2 bulan lah baru barang-barang BMAD itu akan habis, jadi dampaknya yang paling dirasakan November atau Desember efektivitas dari penerapan BMAD," kata Fajar kepada Bisnis, dikutip Senin (7/10/2024).
Fajar menilai penerapan BMAD jelang akhir tahun ini keputusan yang tepat. Sebab, utilitas produksi pabrikan BOPP atau lembaran plastik dalam negeri menuju level 50%. Idealnya, produksi optimal minimal 65%-70%.
Hal ini dikarenakan banjir impor lembaran plastik murah dari negara-negara tersebut, khususnya untuk sejumlah perusahaan dengan kisaran tarif 6,36% - 18,60%.
Baca Juga
"Memang tetap suatu kebijakan ada pro dan kontra, industri makanan dan minuman pasti nggak setuju diterapkan itu, tapi industri BOPP sudah berdarah-darah," ujarnya.
Dalam hal ini, dia menyebutkan, industri makanan minuman dinilai sedikit keberatan lantaran produk impor murah dapat menekan biaya komponen untuk penjualan produk. Namun, dia meyakini dengan tarif BMAD dampaknya tidak begitu menekan industri pengguna.
Diberitakan sebelumnya, PMK yang telah diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia membuktikan bahwa terjadi dumping atas impor barang yang dilakukan oleh Malaysia dan China. Hal ini telah menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri serta ditemukan hubungan kausal antara dumping dengan kerugian yang dialami industri dalam negeri.
Bea masuk antidumping dikenakan terhadap impor produk berupa BOPP dalam bentuk film yang termasuk dalam pos tarif 3920.20.10 dan dalam bentuk pelat, lembaran, foil, dan strip lainnya yang termasuk dalam pos tarif ex3920.20.91 dan ex3920.20.99.
Secara terperinci, Indonesia mengenakan bea masuk antidumping untuk perusahan Malaysia yakni Stenta Films (M) Sdn. Bhd sebesar 18,60% dan Scientex Great Wall Sdn. Bhd 6,36%. Perusahaan lainnya dikenakan sebesar 18,60%.
Kemudian, untuk perusahaan China yakni Zhejiang Kinlead Innovative Materials Co., Ltd dikenakan bea masuk antidumping sebesar 6,73%, Guangdong Decro Package Films Co., Ltd 5,76%, dan Furonghui Industrial (Fujian) Co., Ltd 10,75%. Lalu, Suqian Gettel Plastic Industry Co., Ltd sebesar 7,99% dan perusahaan lainnya dikenakan bea masuk antidumping sebesar 29,95%.
"Pengenaan bea masuk antidumping merupakan tambahan dari bea masuk umum (Most Favoured Nation) atau bea masuk preferensi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional,” bunyi Pasal 3 beleid itu.