Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Sebab Produk Panel Surya RI Murah hingga Dituding Dumping oleh AS

Indonesia dituduh melakukan praktik dumping terhadap produk panel surya oleh Amerika Serikat (AS). Namun, tudingan ini dinilai tidak akurat.
Teknisi melakukan pemeriksaan panel surya di gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (9/7/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Teknisi melakukan pemeriksaan panel surya di gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (9/7/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dituding melakukan praktik dumping oleh produsen panel surya asal Amerika Serikat (AS). Kendati demikian, tak dipungkiri ongkos produksi panel surya di RI jauh lebih murah sehingga harga jual ekspor terjangkau. 

Adapun, AS menuding Indonesia, India dan Laos melakukan dumping atas produk modul surya yang diperdagangkan di Negeri Paman Sam tersebut. Produsen AS juga mendorong penyelidikan atas dugaan dumping itu selama 20 hari ke depan. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, produk impor panel surya dari Asia Tenggara ke AS bisa lebih murah 30%-40% daripada harga panel surya di AS sebesar US$26-30 sen dolar AS per Watt-peak.  

Beberapa pihak di AS menuding produk dari Indonesia dan Laos mendapat subsidi pemerintah atau merupakan hasil transshipment dari China. Namun, menurut Fabby, tuduhan itu tidak sepenuhnya akurat.

“Karena di sini biaya produksinya lebih murah memang dibandingkan produksi di Amerika, tapi mereka menuduh Indonesia atau Laos ini dapat subsidi pemerintah, dan mereka mensinyalir perusahaan China melakukan transshipment. Menurut saya, klaim itu tidak sepenuhnya benar,” kata Fabby kepada Bisnis, Selasa (22/7/2025). 

Dia menerangkan, kapasitas produksi panel surya di AS memang mengalami peningkatan dari 7 gigawatt (GW) pada 2021 menjadi hampir 50 GW saat ini. 

Kenaikan produksi ini terjadi berkat kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) di era Presiden Joe Biden yang memberikan insentif untuk produksi energi terbarukan dalam negeri.

Terlebih, AS juga tengah berupaya mengurangi ketergantungan impor dari China. Sebelumnya, sekitar 85% sel surya juga diimpor dari luar negeri, khususnya dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, dan Kamboja. 

Namun, negara-negara tersebut kini dikenai tarif anti-dumping tinggi, bahkan mencapai 3.500%. Akibatnya, pasokan sel surya dari negara tersebut menurun drastis.

"Setelah itu, pasokan ke Amerika turun dan mulai diisi oleh negara lain seperti India, Indonesia, dan Laos. Indonesia dan Laos menyumbang sekitar 40–45% dari total impor AS untuk sel dan modul surya," jelasnya. 

Dia menerangkan, masuknya produk dari Asia dinilai menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen lokal AS. Menurut Fabby, perusahaan seperti Talon PV dan Mission Solar merasa tertekan karena harga produksi sel di AS mencapai US$26–30 sen per Watt-peak, sedangkan produk impor dari Asia bisa 30–40% lebih murah.

“Industri sel surya di Indonesia sudah berjalan dan mulai ekspor sebelum tarif impor diberlakukan oleh Amerika. Ekspornya memang meningkat setelah produk dari Vietnam, Malaysia, dan Kamboja terkena tarif tinggi,” imbuhnya. 

Bahkan, produksi sel surya di Indonesia tidak mendapat subsidi pemerintah. Perusahaan China yang berinvestasi di Indonesia pun tidak mendapatkan insentif khusus. 

Dia melihat beberapa produsen modul asal China hanya membangun pabrik modul di Indonesia, sementara selnya masih dibeli dari produsen lokal. Produksi sel baru direncanakan mulai setelah tahun 2027.

Meski biaya produksi sel surya di Indonesia 25–30% lebih mahal dibandingkan di China, tetap lebih murah 30–40% dari biaya produksi di AS. Hal ini karena biaya listrik dan tenaga kerja di Indonesia lebih rendah, serta skala produksi yang cukup besar.

“Kalau di Amerika, labor cost dan harga listrik tinggi, sementara di Indonesia jauh lebih murah,” kata Fabby.

Di sisi lain, perusahaan di AS menghadapi tantangan besar lantaran siklus teknologi sel surya yang cepat, sekitar 3–5 tahun, membuat mereka harus cepat balik modal. Namun, biaya produksi yang tinggi serta tarif impor bahan baku seperti aluminium dan baja membuat industri ini kurang kompetitif.

Sebagai contoh, aluminium sebagai komponen utama rangka modul surya itu kini dikenakan tarif impor sebesar 25% sejak era Presiden Donald Trump. Kebijakan ini dikhawatirkan akan membuat harga modul surya di AS semakin mahal.

Dalam menghadapi tudingan tersebut, Fabby mendorong agar pemerintah Indonesia membela kepentingan industri nasional dan menyampaikan bahwa tidak ada subsidi yang diberikan sebagai salah satu tudingan AS. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro