Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pabrik Tekstil Kembali Tumbang Dilibas Produk Impor China

Pabrik tekstil PT Asia Pacific Fibers di Karawang tutup akibat gempuran produk impor murah dari China dan tantangan industri global, termasuk tarif AS.
Pabrik milik PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY)./www.asiapacificfibers.com
Pabrik milik PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY)./www.asiapacificfibers.com

Bisnis.com, JAKARTA - Gempuran banjir produk impor murah dari China masih menjadi tantangan serius bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Tanah Air. Kondisi ini menyebabkan pabrik tekstil bertumbangan, salah satunya yang terbaru milik PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY).

POLY mengumumkan penutupan permanen pabriknya di Karawang yang memproduksi produk kimia dan serat untuk tekstil. Keputusan ini diambil usai perusahaan menghentikan sementara operasional unit produksi di Karawang selama lebih dari 6 bulan terhitung sejak 1 November 2024.

Manajemen POLY menjelaskan bahwa penutupan pabrik tersebut tak lepas dari tantangan berat yang dihadapi industri tekstil, baik dari luar negeri maupun domestik.

Sejumlah faktor global yang menjadi tekanan bagi industri, seperti kelebihan kapasitas global, kenaikan tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS), dan kenaikan harga bahan baku. Sementara itu, tekanan dari dalam negeri dipengaruhi oleh ketidakjelasan penerapan bea antidumping, dan revisi peraturan importasi yang belum sesuai harapan industri. Kondisi tersebut telah menyebabkan lesunya permintaan produk industri.

Apalagi saat ini, POLY juga tengah dalam proses restrukturisasi utang yang diperkirakan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan.

"Pemeliharaan fasilitas unit produksi pabrik kimia dan serat di Karawang dalam kondisi tidak beroperasi membutuhkan biaya yang tinggi. Penghentian produksi yang berlangsung lebih dari 6 bulan membuat operasionalisasi kembali fasilitas unit produksi kami di Karawang menjadi tidak layak secara teknis dan komersial," jelas Corporate Secretary POLY Tunaryo melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, dikutip Selasa (29/7/2025).

Penutupan pabrik di Karawang itu akan membuat penjualan produk polyester staple fiber, polyester chips, dan performance fabrics anjlok hingga 76% pada 2025.

Adapun, pabrik ini sebelumnya masih memasok ketiga produk tersebut sebagai bahan baku produksi filamen yarn di pabrik POLY yang masih beroperasi di Kendal. Namun, kini pemenuhan kebutuhan bahan baku dialihkan ke pihak ketiga dari lokal dan impor.

Kapasitas dan utilisasi sebelum dan sesudah penutupan kini serempak 100% turun. Pada 2024, utilisasi produksi polyester staple fiber masih di kisaran 73.727 ton dari kapasitas 198.000 ton.

Sementara itu, produksi polyester chips masih dapat mencapai 132.130 ton dari kapasitas total 330.400 ton dan performance fabrics yang utilisasinya 819.000 Yds dari total kapasitas 6.000.000 Yds.

Atas kondisi tersebut, perusahaan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas sebagian besar karyawan pabrik Karawang yang mayoritasnya merupakan kelompok noncore. Namun, tidak dijelaskan berapa banyak karyawan yang terdampak.

Saat ini POLY tengah menjalin komunikasi aktif dengan mitra pemasok terkait pembayaran sesuai kesepakatan dan pelanggan yang akan tetap dibayar tagihannya dengan kebijakan tertentu.

"Saat ini Perseroan masih terus melanjutkan diskusi atau pembicaraan dengan kreditur atas proposal restrukturisasi utang terakhir yang dikirimkan," tutur manajemen POLY.

POLY masih membuka opsi untuk membuka kembali pabrik di Karawang apabila restrukturisasi utang disetujui oleh para kreditur. Dalam proposal restrukturisasi juga pihaknya telah mengajukan investor baru untuk menginjeksi dana atas kebutuhan modal kerja dan upgrade mesin.

Namun, tidak menutup kemungkinan juga pabrik tersebut akan menjalankan bisnis baru yang masih dalam sektor TPT atau meningkatkan kapasitas dan utilitas pabrik di Kaliwungu, Kendal.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengamini tekanan kinerja yang dialami POLY tak lepas dari persaingan pasar domestik dengan produk impor murah serta bea masuk antidumping (BMAD) yang diterapkan AS.

"Ekspor ke AS dari APF [Asia Pacific Fibers] sudah terkendala sejak AS mengenakan BMAD benang filamen imbas transshipment yang dilakukan China lewat Indonesia," kata Redma kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).

Redma menerangkan bahwa beberapa tahun terakhir banyak produk China yang diekspor ke AS dengan pengiriman lewat Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengakali tarif tinggi yang dipatok AS untuk barang asal China.

Alhasil, terjadi lonjakan ekspor tekstil dari Indonesia yang sebetulnya produk China ke AS. Atas dasar lonjakan impor dari Indonesia tersebut, AS mengenakan BMAD terhadap produk-produk tekstil dari Indonesia.

"Maka semua produsen di Indonesia terkena BMAD di China, meskipun sebetulnya lonjakan impor itu bukan produk dari Indonesia," jelasnya.

Di sisi lain, penutupan APF juga disebabkan sejumlah produknya yang kalah saing dengan produk impor murah dari China. Sementara itu, usulan pengenaan BMAD atas produk filamen dari China baru-baru ini justru ditolak pemerintah.

Menurut Redma, tak hanya APF yang mengalami tekanan kinerja akibat barang dumping filamen dari China. Sejumlah perusahaan yang stok produksinya tinggi kini mulai menghitung ulang dan mempertimbangkan untuk memangkas produksi.

"APF Karawang rencananya akan jalan lagi jika BMAD diterapkan, tapi setelah ditolak barang impor makin tinggi jadi kondisinya makin tertekan," tuturnya.

Untuk itu, dalam hal ini, Redma menekankan bahwa penerapan BMAD produk filamen merupakan cara paling sederhana dan efektif. Sebab, tata niaga terkait kuota impor dinilai tidak efektif.

"Karena selama ini Kementerian Perindustrian memberikan kuota impor berlebihan tanpa memperhatikan supply industri dalam negeri," pungkasnya.

Tarik-menarik BMAD 

Usulan pengenaan BMAD atas impor benang filamen telah menjadi polemik di antara industri hulu tekstil dan hilir tekstil. Bagi pelaku industri hulu tekstil, pengenaan BMAD diperlukan lantaran praktik dumping impor benang China merugikan industri dalam negeri dan menekan kinerja industri hulu. 

Di sisi lain, pelaku industri hilir tekstil menilai pengenaan BMAD impor benang berpotensi mengganggu kapasitas produksi di sektor hilir, memperlemah daya saing produk tekstil Indonesia di pasar ekspor, serta mendorong peningkatan harga jual di pasar domestik

Sebelumnya, penyelidikan atas dugaan praktik dumping produk tersebut dilakukan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)  sejak 12 September 2023, atas permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk. dan PT Indorama Synthetics Tbk.

Produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu dengan klasifikasi HS 5402.33.10; 5402.33.90; 5402.46.10; dan 5402.46.90 dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022. Produk ini terdiri atas dua jenis yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY).

Adapun, pemerintah memutuskan untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi KADI mengenai pengenaan BMAD atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.

"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas. Kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri,” ujar Budi Santoso alias Busan melalui keterangan resmi, dikutip Jumat (20/6/2025). 

Pertimbangan lainnya, lanjut Busan, sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies, seperti bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023. Selain itu, BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, China, dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022.

Jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir.

“Sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri,” imbuh Busan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro