Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap sejumlah penyebab yang memicu penutupan pabrik kimia dan serat di Karawang, Jawa Barat, milik PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY).
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, terdapat dua faktor utama yang memicu kinerja produksi perusahaan tergerus, yakni dari sisi persaingan pasar domestik dengan produk impor murah serta bea masuk antidumping (BMAD) yang diterapkan Amerika Serikat (AS).
"Ekspor ke AS dari APF [Asia Pacific Fibers] sudah terkendala sejak AS mengenakan BMAD benang filamen imbas transshipment yang dilakukan China lewat Indonesia," kata Redma kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Redma menerangkan bahwa beberapa tahun terakhir banyak produk China yang diekspor ke AS dengan pengiriman lewat Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengakali tarif tinggi yang dipatok AS untuk barang asal China.
Alhasil, terjadi lonjakan ekspor tekstil dari Indonesia yang sebetulnya produk China ke AS. Atas dasar lonjakan impor dari Indonesia tersebut, AS mengenakan BMAD terhadap produk-produk tekstil dari Indonesia.
"Maka semua produsen di Indonesia terkena BMAD di China, meskipun sebetulnya lonjakan impor itu bukan produk dari Indonesia," jelasnya.
Baca Juga
Di sisi lain, penutupan APF juga disebabkan sejumlah produknya yang kalah saing dengan produk impor murah dari China. Sementara itu, usulan pengenaan BMAD atas produk filamen dari China baru-baru ini justru ditolak pemerintah.
Menurut Redma, tak hanya APF yang mengalami tekanan kinerja akibat barang dumping filamen dari China. Sejumlah perusahaan yang stok produksinya tinggi kini mulai menghitung ulang dan mempertimbangkan untuk memangkas produksi.
"APF Karawang rencananya akan jalan lagi jika BMAD diterapkan, tapi setelah ditolak barang impor makin tinggi jadi kondisinya makin tertekan," tuturnya.
Untuk itu, dalam hal ini, Redma menekankan bahwa penerapan BMAD produk filamen merupakan cara paling sederhana dan efektif. Sebab, tata niaga terkait kuota impor dinilai tidak efektif.
"Karena selama ini Kementerian Perindustrian memberikan kuota impor berlebihan tanpa memperhatikan supply industri dalam negeri," pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penutupan pabrik di Karawang itu telah menyebabkan penurunan penjualan produk polyester staple fiber, polyester chips, dan performance fabrics milik APF. Penjualan tahun ini diperkirakan turun 76%.
Adapun, pabrik ini sebelumnya masih memasok ketiga produk tersebut sebagai bahan baku produksi filament yarn di pabrik POLY yang masih beroperasi di Kendal. Namun, kini pemenuhan kebutuhan bahan baku dialihkan ke pihak ketiga dari lokal dan impor.
Kapasitas dan utilisasi sebelum dan sesudah penutupan kini serempak 100% turun. Pada 2024, utilisasi produksi polyester staple fiber masih di kisaran 73.727 ton dari kapasitas 198.000 ton.
Sementara itu, produksi polyester chips masih dapat mencapai 132.130 ton dari kapasitas total 330.400 ton dan performance fabrics yang utilisasinya 819.000 Yds dari total kapasitas 6.000.000 Yds.