Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan dalam membangun angkutan massal di daerah harus memperhatikan proses pembentukan angkutan massalnya bukan hanya sekadar memberikan subsidi.
Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, selama ini pemerintah sekadar memberikan subsidi ke daerah dalam membangun transportasi massal tanpa memperhatikan kekhususan dari masing-masing daerah.
Menurutnya, program pemberian bantuan bus high deck atau lantai tinggi mengadopsi keberhasilan TransJakarta atau bus sistem transit, yang dimulai sejak 2004 lebih banyak yang mengalami kegagalan.
"Dibagi busnya sejak 2004 hingga sekarang timbul tenggelam, muncul bagus, ganti walikota hilang. Pernah ada paling bagus pelaksanaannya sistem pembagian bus itu Palembang, mereka bagus, sejak 2009, tetapi walikota ganti jadi buruh, tidak ada keberlanjutan, dulu wali kotanya peduli dia memberi subsidi," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (26/6/2019).
Dengan demikian, aspek penting dalam setiap subsidi yang diberikan adalah prosesnya dalam hal ini pembinaan oleh pusat. Pemberian subsidi tanpa ada pengawasan maupun pembinaan dinilai tetap akan sulit.
Dia mencontohkan, daerah yang memiliki rute BRT yang baik yakni Semarang dan Pekanbaru, tetapi sayangnya kedua daerah tersebut hanya memindahkan pengguna angkutan kota (angkot) bukan pengguna angkutan pribadi.
Selain itu, dia menilai ada cara pandang yang salah dari pemerintah daerah (pemda) dalam mengadakan angkutan massal, yang diperhatikan itu load factor-nya bukan luas jangkauannya.
Padahal, dalam membangun angkutan massal terutama yang disubsidi faktor terpenting adalah membangun angkutan massal yang dapat menjangkau seluruh daerah sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
"Pusat membiarkan lagi, sampai sekarang tidak punya panduan memberikan pembinaan terhadap daerah. Di sisi lain tanpa bantuan pusat ada beberapa daerah memperbaiki angkutan umum yang ada," tuturnya.