Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembang pembangkit listrik untuk mulai mengoptimalkan investasi pada peningkatan program bahan bakar pendamping batu bara atau co-firing di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mengatakan, peluang pengembangan co-firing itu relatif dapat dilakukan pengembang untuk beralih pada energi yang lebih bersih.
Di sisi lain, kata Ida, investasi yang minimalis pada program itu dinilai aman untuk menjaga besaran biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang mesti ditanggung pengembang. Dengan demikian, tarif listrik yang diserahkan kepada konsumen relatif terjangkau di tengah komitmen transisi energi saat ini.
“Ujung-ujungnya kalau itu memengaruhi harga atau BPP barangkali bisa kita upayakan bagaimana diakomodir di dalam perpanjangan perjanjian jual beli listrik [PJBL] sehingga harganya tetap,” kata Ida dalam acara Business and Risk Perspective Energy Transformation Talk, Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Ida memastikan kementeriannya bakal memberikan kepastian terkait dengan harga bahan bakar biomassa serta tarif jual listrik pengembang untuk menopang komitmen transisi energi tersebut.
“Teman-teman yang sudah melakukan investasi di pembangkitnya yang mengarah ke lebih green gitu ya bisa kita akomodir di dalam perpanjangan PJBL ini jadi pertimbangan ke depan untuk kita bahas,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, PT PLN Nusantara Power (PNP) tengah menjajaki peluang penundaan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik mereka lewat peningkatan implementasi co-firing atau pencampuran bahan bakar batu bara dengan biomassa hingga 100 persen 3 tahun mendatang.
Rencana itu sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mencoba mengganti sepenuhnya penggunaan batu bara lewat bahan bakar biomassa.
Direktur Utama PNP Rully Firmansyah menerangkan, rencana pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar utama bakal dilakukan pada PLTU Paiton. Saat ini, PNP telah menjalin kerja sama dengan perusahaan manufaktur asal Jepang untuk mengkaji potensi bauran 100 persen tersebut.
“Kalau Paiton ini berhasil di 100 megawatt [MW], kita ngomong sama pemerintah tolong dong jangan dipensiunkan dini,” kata Rully saat ditemui di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Menurut Rully, upaya peralihan bahan bakar lewat optimalisasi program co-firing hingga 100 persen lebih realistis dilakukan ketimbang mesti mempensiunkan dini sejumlah PLTU dalam waktu dekat.
Apalagi, kata dia, sejumlah PLTU milik PNP yang direncanakan untuk dipensiunkan dini 3 tahun mendatang, seperti Paiton hingga Pacitan mesti memerlukan investasi besar untuk membangun pembangkit energi baru terbarukan lainnya.
“Kalau Paiton 200 megawatt dipensiunkan diganti dengan panel surya itu butuh 1.500 hektare tanah dan itu sangat sulit di Jawa,” kata dia.