Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kenaikan Tarif Ojol Ditunda, Pakar: Jadi Momentum Jaring Aspirasi Publik

Penundaan kenaikan tarif ojol dari seharusnya 15 Agustus menjadi 30 Agustus 2022 harus menjadi momentum pemerintah menyerap aspirasi publik.
Penundaan kenaikan tarif ojol dari seharusnya 15 Agustus menjadi 30 Agustus 2022 harus menjadi momentum pemerintah menyerap aspirasi publik. Warga memesan ojek online di Jakarta. Bisnis/Abdurahman
Penundaan kenaikan tarif ojol dari seharusnya 15 Agustus menjadi 30 Agustus 2022 harus menjadi momentum pemerintah menyerap aspirasi publik. Warga memesan ojek online di Jakarta. Bisnis/Abdurahman

Bisnis.com, JAKARTA - Langkah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunda pemberlakuan tarif baru ojek online atau ojol dari seharusnya 15 Agustus 2022 menjadi 30 Agustus 2022 dinilai positif oleh berbagai pihak.

Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Rumayya Batubara menilai perpanjangan waktu tersebut dapat menjadi momentum bagi Kemenhub dalam menjaring masukan dari para pemangku kepentingan dalam menetapkan tarif baru ojol.

"Penundaan pemberlakukan ini bagus walaupun tambahannya hanya 15 hari. Sehingga ada waktu lebih panjang, untuk menghitung lagi dampaknya, dan apakah ada solusi yang lebih baik," ujarnya, Jumat (19/8/2022).

Menurutnya, jika tarif ojol memang harus naik harus disepakati pula besaran tarif yang sesuai.

"Jadi perpanjangan waktu ini bisa digunakan untuk mencari masukan dan tambahan data agar bisa mengambil kebijakan publik lebih tepat, kami sangat dukung untuk itu,” imbuhnya.

Seperti diketahui, pada 14 Agustus 2022, Kemenhub mengeluarkan pemberitahuan bahwa pemberlakuan kenaikan tarif baru ojol yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022 yang seharusnya berlaku efektif 10 hari pascaditetapkan pada 4 Agustus 2022, diundur menjadi 25 hari.

Penundaan tersebut lantaran kekhawatiran kebijakan ini akan memberatkan masyarakat dan tidak sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi. Sebab tarif ojol yang ditetapkan dalam KM564/2022 kenaikannya sangat tinggi, berkisar antara 30 persen sampai 50 persen.

Rumayya mengatakan bahwa kenaikan tarif sebesar itu memang akan memiliki banyak dampak negatif, terutama dari sisi konsumen. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), lebih dari 50 persen konsumen pengguna ojol adalah masyarakat menengah bawah. Para konsumen memilih menggunakan ojol dikarenakan harganya yang terjangkau.

Dengan demikian, kenaikan tarif yang terlalu tinggi berpotensi layanan ojol ditinggalkan oleh sebagian besar konsumen. Padahal layanan ojol kini memegang peranan penting dalam mendukung kegiatan ekonomi. Akibatnya, konsumen akan memilih opsi transportasi lain, salah satunya kendaraan pribadi, yang akan menimbulkan masalah lain seperti kemacetan lalu lintas.

Rumayya, yang juga merupakan Ketua Tim Peneliti RISED menjelaskan ketika tarif ojol naik pada 2019, sebanyak 75 persen konsumen menolak kenaikan harga ojol. Persentase penolakan tersebut tergolong tinggi, meski kenaikan tarif pada saat itu tidak sebesar pada tahun ini.

"Tahun ini kami memang belum melakukan studi terbaru, tapi kemungkinan besar akan ada lebih dari 75 persen konsumen yang menolak, karena kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi," ujarnya.

Dampak buruk lainnya akan dirasakan oleh para driver ojol. Rumayya mengatakan bahwa niat baik pemerintah untuk menyejahterakan pengemudi ojol melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi. Namun, kenaikan tarif ojol tidak selalu berhubungan langsung dengan kesejahteraan para pengemudi.

Dia mencontohkan ketika konsumen memilih moda transportasi lain saat tarif ojol tinggi, maka potensi pendapatan driver akan menurun. Hal itu dikarenakan karakter pengguna ojol yang sangat sensitif terhadap harga.

"Misalkan jika sebelumnya bisa mendapatkan 10 penumpang, dengan adanya kenaikan ini penumpangnya jadi turun jadi 7 atau bahkan hanya 5. Perlu di ingat, jumlah driver tetap sama, tapi penumpang berkurang," jelasnya.

Lalu dampak yang ketiga yaitu dari sisi ekonomi. Ketika konsumen memilih menggunakan kendaraan pribadi akan meningkatkan kemacetan di kota-kota besar dan biaya pemerintah untuk BBM menjadi lebih mahal. Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang.

"Sektor lain akan terpukul, ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antar sektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang,” katanya.

Secara keseluruhan, sambung Rumayya, kenaikan tarif ojol yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan turut menaikkan inflasi. Terlebih saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menekan inflasi melalui program subsidi di berbagai sektor.

"Kita lihat saat ini inflasi sedang tinggi. Bahkan untuk inflasi pangan tertinggi sejak tahun 2015. Jika inflasi tinggi, maka daya beli konsumen tergerus," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper