Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki tahun 2026, Pemerintah Daerah (Pemda) dihadapkan pada tantangan besar dalam membiayai pembangunan, khususnya infrastruktur. Dalam Rancangan APBN 2026, transfer keuangan daerah dan desa (TKDD) direncanakan sebesar Rp650 triliun atau lebih rendah dibandingkan dengan APBN 2025.
Dalam situasi ini, Pemda harus mencari jalan keluar untuk membiayai pembangunan infrastruktur di daerahnya. Pembiayaan kreatif bukan lagi pilihan alternatif, melainkan kebutuhan mendesak yang harus diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan daerah.
Sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita untuk membangun Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat, RPJMN 2025–2029 menempatkan pembangunan infrastruktur dan penghiliran ekonomi daerah sebagai salah satu prioritas nasional. Menteri Keuangan dalam International Conference on Infrastructure 2025 beberapa waktu yang lalu, menyampaikan bahwa kebutuhan pembiayaan infrastruktur mencapai Rp10.303 triliun di mana Pemerintah hanya mampu menyediakan 40% dari kebutuhan tersebut.
Kebutuhan pembangunan yang cukup besar di daerah dan kondisi fiskal yang makin ketat mengakibatkan Pemda harus melakukan prioritisasi dan refocussing program. Sebagian besar daerah di Indonesia sangat bergantung pada dana transfer pusat yang menyumbang lebih dari 60% komposisi APBD mereka. Ruang belanja modal yang menyempit berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal, penciptaan lapangan kerja, serta kualitas pelayanan publik. Jika tidak segera diantisipasi, kondisi ini dapat menimbulkan stagnasi pembangunan di daerah.
Berbagai proyek infrastruktur daerah yang dapat menunjang pembangunan perekonomian daerah serta menciptakan multiplier effect seperti Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), pengelolaan sampah, infrastruktur jalan, jaringan irigasi, penerangan jalan, pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai dan pembangunan sekolah memerlukan belanja modal yang cukup besar yang tidak bisa ditanggung sepenuhnya oleh APBD. Kondisi ini menegaskan bahwa pembiayaan kreatif harus menjadi tulang punggung pembangunan, terlebih bagi daerah yang memiliki PAD terbatas, ketimpangan geografis, dan risiko fiskal tinggi.
Keberhasilan Pemda dalam mengatasi tantangan fiskal untuk pembangunan di daerahnya, bergantung kepada kemampuan Pemda untuk mengakses sumber pembiayaan yang beragam yang berasal dari swasta dan lembana keuangan nasional maupun internasional untuk dapat digerakkan melalui skema pembiayaan kreatif. Skema pembiayaan kreatif yang dapat dimanfaatkan Pemda mencakup Public-Private Partnership (PPP), Limited Concession Scheme (LCS), Land Value Capture, pinjaman daerah, penerbitan obligasi daerah termasuk green bonds, dan kerja sama pemanfaatan aset daerah untuk mengoptimalkan aset daerah yang selama ini tidak dimanfaatkan. Skema pembiayaan kreatif tersebut memungkinkan Pemda untuk membiayai proyek, tanpa harus menunggu ruang fiskal Pemda dari anggaran rutin tahunan.
Baca Juga
Salah satu contoh implementasi sukses dalam pembiayaan kreatif datang dari Kabupaten Madiun. Melalui skema PPP/KPBU, Pemkab Madiun dapat menggandeng swasta untuk proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) berbasis LED hemat energi. Proyek ini tidak hanya efisien dari sisi belanja listrik, tetapi juga meningkatkan keamanan jalan dan mendukung kegiatan ekonomi malam hari. UMKM dan sektor informal mengalami peningkatan aktivitas ekonomi karena tersedianya sarana pendukung kegiatan malam hari. Keberhasilan ini membuktikan bahwa pembiayaan kreatif berskala menengah dapat memberikan dampak nyata dan memperkuat kepercayaan publik terhadap kolaborasi pemerintah-swasta.
Namun, realisasi dari potensi pembiayaan kreatif ini seringkali menghadapi tantangan kapasitas teknis di tingkat daerah (World Bank, 2017). Banyak Pemda masih menghadapi kesulitan, terutama dalam menyiapkan studi kelayakan, desain alokasi risiko, dan struktur pembiayaan proyek yang kompleks. Di sinilah peran seperti Kemenkeu, Bappenas, LKPP, dan kementerian/lembaga lainnya menjadi krusial untuk memberikan asistensi, pelatihan, dan pendampingan kepada Pemda. Pusat layanan teknis dan knowledge hub regional dapat menjadi infrastruktur kelembagaan untuk mengakselerasi kesiapan daerah.
Kapasitas teknis di tingkat daerah selain harus ditingkatkan melalui capacity building, juga perlu didorong dengan upaya kepala daerah untuk melakukan transformasi organisasi di lingkungan Pemda. Organisasi di Pemda harus lebih adaptif, kolaboratif, dan berorientasi hasil sesuai dengan konsep New Public Management (NPM) yang disampaikan oleh Hood (1991). NPM menekankan pada adopsi prinsip pola kerja swasta dalam sehingga dapat menciptakan layanan publik yang lebih meningkat kepada masyarakat.
Tantangan pembiayaan pembangunan daerah ke depan tidak bisa dijawab dengan pendekatan konvensional. Ketika ruang fiskal menyempit dan kebutuhan infrastruktur terus meningkat, pembiayaan kreatif harus menjadi strategi utama. Dengan menjadikan Asta Cita dan RPJMN 2025–2030 sebagai panduan arah, serta mendorong reformasi kelembagaan dan tata kelola, tahun 2026 bisa menjadi momentum penting akselerasi pembiayaan kreatif untuk pembangunan daerah yang lebih inklusif dan berdaya tahan sekaligus melakukan transformasi organisasi Pemda yang lebih adaptif.