Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan menilai, belum adanya regulasi yang tepat menjadi akar dari berbagai persoalan yang kerap terjadi di kalangan pengemudi transportasi online, termasuk ojek online (ojol).
Noel mengatakan, ketika negara-negara lain seperti Eropa telah mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, dengan menghadirkan regulasi terkait ekonomi digital, Indonesia justru masih belum bisa menghadirkan aturan serupa.
“Kemarin kita lihat, puluhan tahun problem driver ojol dan sebagainya itu tidak teratasi, kenapa? Tidak ada regulasi yang pasti,” kata Noel dalam sambutannya di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).
Alih-alih menerbitkan aturan yang dapat mengatasi persoalan, misalnya di kalangan pengemudi transportasi online, Noel melihat, negara justru sibuk dengan berbagai aturan yang bertujuan ‘memeras’ kelompok tertentu.
“Saya melihatnya negara kosong, negara sibuk, negara sibuk berbisnis dengan dirinya, negara sibuk memperkenalkan dirinya seperti ormas, yang sibuk hanya membuat regulasi-regulasi yang ujungnya hanya untuk apa? meras. Ini fakta yang terjadi,” tuturnya.
Menurutnya, jika negara tidak adaptif dengan persoalan-persoalan yang sedang terjadi saat ini, dia khawatir Indonesia akan tertinggal dibanding negara-negara lainnya.
Baca Juga
Apalagi, kata dia, Indonesia memiliki narasi besar Indonesia Emas 2045, sebuah visi besar Indonesia untuk menjadi negara maju, adil, dan makmur pada 2045.
Untuk itu, dia mengharapkan agar semua pihak dapat berkolaborasi, agar Indonesia Emas 2045 dapat tercapai, dan Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lainnya.
“Jadi semoga ke depan ini kita bisa saling kolaborasi,” ujarnya.
Untuk diketahui, permasalahan terkait pengemudi transportasi online masih terus terjadi di Indonesia.
Dalam catatan Bisnis, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menyebut, akar permasalahan ini bersumber dari model hubungan kemitraan yang dinilai tidak memanusiakan para pengemudi transportasi online.
Hubungan semacam ini sebelumnya telah dikritisi oleh Kementerian Hak Asasi Manusia karena dinilai sarat ketimpangan mulai dari potongan platform sebesar 20–30% yang dianggap tidak adil, upah yang tak layak, ketiadaan jaminan sosial, hingga praktik penghindaran tanggung jawab perusahaan sebagai pemberi kerja.
“Atas dasar itu, Kementerian HAM menyatakan bahwa hubungan kemitraan tersebut tidak bisa dilanjutkan,” kata Lily dalam focus group discussion (FGD) bertajuk ‘Transportasi Online yang Adil dan Berkelanjutan’ yang diselenggarakan Kemenhub pada Jumat, 25 (7/2025).