Bisnis.com, JAKARTA — Tugas Satgas BLBI telah berakhir sejak 31 Desember 2024 meski tunggakan piutang akibat pemberian BLBI belum semuanya tertagih.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP tahun 2024 (audited) mencatat masih ada tunggakan Rp33,7 triliun berasal dari 21 dari total 23 obligor BLBI. Sementara itu, total piutang yang belum ditagih pemerintah mencapai Rp211,5 triliun.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban pada 2024 lalu menyebut pemerintah bakal membentuk Komite BLBI, untuk menggantikan Satgas BLBI yang sudah selesai masa tugasnya tahun lalu.
Persoalannya hingga kini, pembentukan komite itu seperti panggang jauh dari api, bahkan nyaris tidak terdengar.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperkirakan rencana pembentukan Komite BLBI itu tidak akan membuahkan hasil yang besar.
"Harus hati-hati, jangan menciptakan ketidakpastian baru. Saya yakin success rate-nya akan kecil," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (27/8/2025).
Baca Juga
Wijayanyo menyebut kasus BLBI yang sudah berlangsung lama itu tidak akan mudah diungkap. Beberapa debitur atau obligor pun sudah meninggal. Dia mewanti-wanti agar pemerintah perlu berhati-hati.
"Kalaupun akan di-follow up, perlu ekstra hati-hati. Jangan sampai justru menimbulkan ketidakpastian hukum," tuturnya.
Menurut Wijayanto, ada opsi lain yang bisa pemerintah lakukan untuk tetap memastikan dana BLBI itu tetap kembali ke negara. Dia menyebut perlunya belajar dari Program Pengampunan Pajak atau Program Pengungkapan Sukarela, yang biasa dikenal Tax Amnesty.
Pemerintah dinilai bisa memberikan diskon bagi para obligor apabila bisa melunasi tunggakan pelunasan utang BLBI dalam periode tertentu.
"Kita bisa belajar dari tax amnesti; memberikan diskon untuk tenggat waktu tertentu; misalnya 40-50%. Jika lewat maka akan kembali ke nilai penuh, yang berpotensi untuk di proses di masa depan," ucapnya.
Total Piutang Ratusan Triliun
Pemerintah masih memiliki beban untuk menagih piutang yang timbul akibat pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI. Tidak tanggung-tanggung nilai piutang aset BLBI yang masih membebani neraca keuangan pemerintah pusat mencapai Rp211,54 triliun per tanggal 31 Desember 2024 lalu.
Dalam catatan Bisnis, kasus BLBI bermula dari kekisruhan ekonomi akibat krisis moneter yang berlangsung pada tahun 1998. Pada waktu itu, pemerintah mengucurkan dana senilai Rp147,7 triliun untuk menyelamatkan bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Namun, dalam perjalanannya, BPK justru menemukan adanya penyelewengan dana ratusan triliun tersebut.
Dikutip dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat alias LKPP Tahun 2024 (audited), total piutang itu terdiri dari aset kredit peninggalan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp103,09 triliun. Jumlah ini naik hampir Rp1,42 triliun dibandingkan posisi akhir Desember 2023 yang tercatat sebesar Rp101,67 triliun.
Selain aset eks BPPN, beban piutang BLBI dalam neraca keuangan pemerintah juga berasal dari aset kredit eks kelolaan PT PPA yang mencapai Rp98,6 triliun atau turun dibandingkan dengan LKPP 2023 (audited) yang tercatat sebanyak Rp100,7 triliun.
Sisanya beban piutang tersebut juga berasal dari piutang eks Bank Dalam Likuidasi alias BDL. Nilainya mencapai Rp9,8 triliun. Jumlah ini terdiri dari eks dana talangan senilai Rp7,28 triliun dan eks dana pinjaman sebesar Rp1,92 triliun.
Adapun sebelum pergantian pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto, Kemenkeu sempat menyebut akan membentuk Komite Penanganan Hak Tagih Dana BLBI untuk menggantikan Satgas BLBI yang masa tugasnya akan berakhir pada 31 Desember 2024.
Dirjen Kekayaan Negara Rionald Silaban menjelaskan, Satgas BLBI bukan lembaga permanen. Sesuai Keputusan Presiden (Keppres) No.30/2023, masa tugas Satgas BLBI hanya sampai akhir tahun ini.
"Makanya kemudian kita mengusulkan dibentuk sesuatu seperti komite tetap lah, karena bagaimanapun juga kan negara tetap mempunyai tagihan kepada orang-orang ini," jelas Rio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).