Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat presentase penduduk miskin pada September 2020 meningkat menjadi 10,19 persen akibat pandemi Covid-19.
Angka ini meningkat 0,41 persen poin terhadap Maret 2020 dan naik 0,97 persen poin terhadap posisi September 2019. Dengan demikian, total jumlah penduduk miskin per September 2020 mencapai 27,55 juta jiwa.
Jika merujuk pada data BPS, kenaikan presentase jumlah penduduk miskin ke level dua digit ini merupakan yang pertama kalinya sejak 2017. Pada September 2017, presentase penduduk miskin tercatat sebesar 10,12 persen dan berhasil turun ke level 9,82 persen pada Maret 2018.
Selanjutnya, presentase penduduk miskin ini terus mengalami tren penurunan hingga ke level terendah di September 2019 sebesar 9,22 persen.
Peningkatan penduduk miskin pada 2020 tidak lain disebabkan oleh hantaman pandemi Covid-19 yang menyebabkan adanya perubahan pada aktivitas ekonomi dan pendapatan penduduk. BPS mencatat, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19 per Agustus 2020.
Angka ini sejalan dengan tingkat pengangguran terbukat (TPT) yang meningkat menjadi 7,07 persen, naik 1,84 persen jika dibandingkan dengan Agustus 2019 lalu, serta presentase pekerja setengah penganggur meningkat 3,77 persen dari Agustus 2019 menjadi 10,19 persen pada Agustus 2020.
Baca Juga
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai bantalan sosial yang digulirkan pemerintah dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) belum cukup efektif menahan naiknya angka kemiskinan.
Menurutnya, ada beberapa kendala yang menyebabkan bantuan sosial tidak efektif, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan. Pertama, Bhima mengatakan ada perencanaan bantuan sosial (bansos) yang salah dialokasikan pada awal tahun.
Misalnya, Kartu Prakerja dengan anggaran yang disiapkan Rp20 triliun. Program Kartu Prakerja mengharuskan peserta mengikuti pelatihan, setelah itu insentif baru dapat dicairkan. Menurut Bhima, seharusnya pemerintah langsung menyalurkan bantuan dalam bentuk tunai.
“Kartu Prakerja ini kan orang butuh duit tunai, tapi disuruh ikut pelatihan dulu, ini jadi kelemahan sehingga bansos tidak tepat waktu, harusnya waktu di awal lansung bentuk bansosnya uang tunai kepada masyarakat yang tidak mampu,” katanya kepada Bisnis, Rabu (17/2/2021).
Kedua, Bhima menilai bansos dalam bentuk sembako sangat tidak efektif karena proses dan waktu yang dibutuhkan hingga bisa sampai ke penerima bansos sangat lama.
“Distribusi [sembako] butuh waktu karena ada pengadaan barang dan jasa, ini memakan waktu dari distribusi sampai ke penerima akhir. Berbeda kalau tunai, langsung dari anggaran negara ke perbankan dan langsung ke rekening penerima,” jelasnya.
Ketiga, masih adanya kendala atau tumpang tindih data penerima bansos sehngga pemberian bansos tidak bisa tereksekusi dengan cepat. “[Aparatur] desa, bupati, gubernur, sampai ke level Kementerian Sosial, punya program bansos, harusnya disimplifikasi dan penerimanya diperluas”.
Keempat, Bhima mengatakan tidak hanya terlambat didistribusikan, nominal pemberian bansos juga relatif kecil. Menurutnya, subsidi upah yang ideal seharunya berkisar Rp5 hingga Rp7 juta, demikian juga bansos untuk usaha mikro.
“Harusnya Rp5-Rp7 juta karena banyak asumsi, misalnya garis kemiskinan dan satu kepala keluarga menanggung 3 anggota keluarga. Harusnya anggaran perlindungan sosial jauh lebih dominan dibandingkan stimulus lainnya,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan berbagai program sosial yang digulirkan pemerintah selama pandemi cukup membantu perekonomian masyarakat menengah ke bawah dan berhasil menekan naiknya angka kemiskinan lebih tinggi.
Pemerintah pun memperluas jangkauan program sosial sehingga tidak hanya menyasar 40 persen penduduk kelas bawah, namun diperluas menjadi 60 persen.
“Meski ada peningkatan penduduk miskin, kenaikan di Indonesia tidak setinggi prediksi karena program perlindungan sosial pemerintah,” katanya, Senin (15/2/2021).
Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpendapat bahwa desain program bantuan sosial pemerintah memang tidak ditujukan untuk menahan bertambahnya atau mengurangi jumlah penduduk miskin.
Menurutnya, program bansos lebih ditujukan untuk meningkatkan ketahanan penduduk miskin agar mereka mampu bertahan ditengah tekanan pandemi Covid-19.
“Agar mereka masih bisa hidup layak, makan tiga kali sehari, ketika mereka kehilangan pekerjaan atau kehilangan income,” jelasnya.
Piter mengatakan, peningkatan penduduk miskin tidak terelakkan di tengah pandemi saat ini meski alokasi bansos ditingkatkan dan tepat sasaran.
“Jumlah penduduk miskin ditengah pandemi saat ini tetap akan melonjak. Korban PHK yang kehilangan gaji Rp3 juta perbulan tetap akan jatuh miskin walaupun dapat bansos Rp600.000 per bulan. Bansos tersebut tidak cukup menggantikan income mereka yang hilang,” katanya.
Piter menyampaikan, upaya untuk mengurangi penduduk miskin tidak dapat dilakukan melalui bansos, justru dengan pemulihan ekonomi yang kemudian menciptakan lapangan kerja.
Pada tahun ini, pemerintah memasang target optimistis untuk menekan angka kemiskinan ke pada kisaran 9,2 hingga 9,7 persen. Angka Gini ratio yang meningkat menjadi 0,385 pada September 2020 pun ditargetkan akan turun pada kisaran 0,377 hingga 0,379.