Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lonjakan PHK Bisa Kembali Terjadi, Kapan?

Penurunan aktivitas produksi akibat resesi secara langsung bakal menambah kasus pemberhentian hubungan kerja (PHK).
Sejumlah buruh pabrik pulang kerja di kawasan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (17/4/2020)./ANTARA FOTO-Fauzan
Sejumlah buruh pabrik pulang kerja di kawasan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (17/4/2020)./ANTARA FOTO-Fauzan

Bisnis.com, JAKARTA – Ancaman resesi akibat Covid-19 kian terasa usai pemerintah memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi bakal tumbuh negatif pada kuartal II/2020. Sektor ketenagakerjaan diperkirakan bakal terdampak apabila resesi terjadi. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan meski bisa dihindari dengan serangkaian kebijakan yang strategis, Indonesia harus tetap mengantisipasi dampak sosial ekonomi akibat lesunya ekonomi.

Dia melanjutkan, tingkat daya beli masyarakat yang tertahan selama pandemi, bakal membuat kinerja sektor manufaktur terkoreksi. Penurunan aktivitas produksi ini secara langsung bakal menambah kasus pemberhentian hubungan kerja (PHK).

"Jumlah pengangguran mungkin lebih bakal lebih besar dari yang telah diumumkan oleh Kemenaker. Bahkan angka dari asosiasi usaha menunjukkan bahwa jumlah pekerja terdampak Covid-19 melampaui angka Kemenaker," ujar Eko, Kamis (25/6/2020).

Pertambahan jumlah penduduk yang menganggur sendiri bukanlah sinyal yang baik. Kondisi tersebut bakal sejalan dengan jumlah penduduk yang jatuh miskin. Dengan angka kemiskinan yang bertambah, daya beli bakal kian terkoreksi. Bahkan saat kuartal I/2020, konsumsi rumah tangga di dalam negeri hanya tumbuh 2,84 persen.

Jumlah pekerja di sektor informal sendiri diperkirakan bakal meningkat jika resesi terjadi. Menyusul terbatasnya serapan tenaga kerja di sektor formal, penduduk korban PHK dan pencari kerja disebut Eko bakal beralih pada berbagai jenis pekerjaan yang tak terikat jaminan sosial.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, komposisi pekerja informal di Tanah Air tercatat mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Februari 2018 lalu, komposisi pekerja sektor informal berada di angka 58,22 persen. Komposisinya pun kian menurun pada Februari 2020 menjadi 56,5 persen.

Ketika perlambatan ekonomi terjadi seperti saat ini, Eko menyatakan skema dukungan daya beli yang digelontorkan pemerintah melalui bantuan sosial memang bisa menahan penurunan. Langkah ini pun dinilai lebih cepat memberikan efek karena menyasar langsung 40 persen masyarakat dengan perekonomian terbawah.

"Namun kendalanya muncul jika perlambatan ekonomi terjadi lebih dari dua kuartal. Apakah anggarannya memadai? Jika sampai 2021, pendapatan pajak kita mungkin tak sama. Oleh karena itu bantuan sosial pun ada batasnya," tuturnya.

Guna bangkit dari resesi, kata Eko, bansos pada masyarakat rentan miskin dan miskin saja tidaklah cukup. Pemerintah tetap perlu mendorong konsumsi swasta dan kelompok menengah ke atas. Namun dalam hal ini, dia menilai sektor usaha mikro dan kecil menengah perlu mendapat prioritas.

Eko mengemukakan sektor UMKM memiliki peluang bertahan yang besar dan bisa memacu konsumsi. Pasalnya, opsi lain seperti peningkatan investasi akan sulit dicapai mengingat banyak pihak yang menahan diri. Mengandalkan ekspor pun tak bisa menjadi pilihan utama lantaran permintaan di negara tujuan cenderung berkurang.

"Kapasitas UMKM memang terbatas dan serapan pekerjanya kecil. Tapi mereka memiliki resiliensi yang tinggi dengan keterbatasan itu, UMKM cenderung tahu seberapa besar kapasitas untuk tumbuh," kata Eko.

Dengan dukungan stimulus yang efektif, Eko mengatakan sektor UMKM berpeluang melakukan ekspansi. Perluasan bisnis sendiri bakal memperbesar peluang terciptanya lapangan pekerjaan.

Namun dia tak memungkiri jika eksekusi stimulus bagi UMKM harus dihadapkan oleh berbagai kendala, seperti pendataan yang belum sempurna. Oleh karena itu, pembenahan pendataan menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera dibenahi sembari memastikan dukungan bagi UMKM tersalurkan.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mengatakan, UMKM memang menjadi salah satu sektor yang mengalami tekanan paling berat akibat Covid-19. Sejumlah proyeksi bahkan disebut Teten memasang perkiraan bahwa separuh UMKM bisa gulung tikar jika kondisi usai September kian berat.

Guna menghindari dampak lebih dalam yang ditimbulkan Covid-19, dia menyatakan pemerintah telah menyiapkan sejumlah kebijakan yang mencakup program jaminan sosial bagi usaha skala mikro dan ultra mikro. Terdapat pula relaksasi kredit dan pembebasan pajak bagi UMKM yang terdampak.

"Kendalanya memang dari pendataan, dari BPS menyebutkan ada 64 juta UMKM. Tapi kami beruntung ada 60,66 juta UMKM yang telah terhubung dengan lembaga pembiayaan formal. Ini yang kami jadikan basis data," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper