Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM telah dua kali merilis kebijakan formula harga bahan bakar minyak dalam perhitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak umum.
Pada 28 Februari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif meneken regulasi terbaru mengenai kebijakan formula harga BBM umum yang berlaku sejak 1 Maret 2020.
Pada saat yang sama, beleid sebelumnya yang tertuang dalam Kepmen ESDM Nomor 187 K/lO/MEM/2019 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kepmen ESDM No.187/2019, terbit pada 7 Oktober 2019.
Dengan menggunakan formula harga BBM era Menteri ESDM Ignasius Jonan, harga BBM di Indonesia bisa diturunkan hingga 2 kali, yakni pada Januari 2020 padahal harga minyak dunia saat itu masih bertengger di atas US$60 per barel.
Dengan adanya perubahan formula harga BBM umum, idealnya penyesuaian harga lebih mudah dilakukan. Hipotesa ini, merujuk pernyataan Pelaksana Tugas Dirjen Migas Ego Syahrial.
Ego mengatakan terbitnya formula harga BBM umum dihadirkan untuk melindungi daya beli masyarakat. “Sudah pasti kebijakan pemerintah adalah untuk kebaikan," ujarnya di Jakarta, Selasa (17/3/2020).
Baca Juga
Sayangnya, Kepmen ESDM No.62/2020 belum juga mengubah harga BBM di satuan pengisi bahan bakar umum (SPBU), sejak berlaku pada Maret 2020.
Padahal, berdasarkan pemantauan Bloomberg, Jumat (24/4/2020), pukul 15.51 WIB, harga minyak jenis WTI untuk kontrak Juni 2020 berada di lebel US$15,74 per barel terkoreksi 4,61 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sementara itu, harga minyak jenis ICE juga terkoreksi 3,14 persen ke level US$20,66 per barel untuk kontrak Juni 2020.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai bahwa beleid tentang formula harga bahan bakar minyak yang terbitkan Kementerian ESDM menjadi salah satu penyebab harga produk energi tersebut sulit turun.
Berdasarkan formula Kepmen No 62K/MEM/2020, paling tidak ada 2 kemugkinan penyebabnya, yakni penaikkan konstanta dan penetapan harga MOPS yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia.
“Menteri ESDM Arifin Tasrif harus segera mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menurunkan harga BBM dalam waktu dekat ini,” katanya, Kamis (23/4/2020).
Fahmi menyarankan, Menteri ESDM harus mengevaluasi besaran MOPS yang disesuaikan dengan harga minyak dunia yang berlaku. Penurunan harga BBM sebenarnya akan dapat menaikkan daya beli masyarakat, yang lagi terpuruk akibat Covid-19.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro untuk melihat penyesuaian harga BBM, ada beberapa faktor yang menentukannya. Pertama, harga minyak mentah dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Menurutnya, setiap penurunan harga minyak mentah US$1 per barel dengan asumsi nilai tukar yang tetap, maka harga BBM bisa turun dikisaran Rp100 per liter. Sebaliknya, pelemahan nilai tukar Rp100 per dolar Amerika Serikat, maka sebaliknya, harga BBM bisa naik dikisaran Rp100 per liter.
Komaidi menyebut untuk periode Januari-Februari, harga ICP rata-rata US$ 60 per barel atau di bawah asumsi APBN 2020 sebesar US$63 per barel. Sementara pada periode yang sama, nilai tukar menguat Rp650 per US$ atau menguat 6,5 poin.
"Melihat kondisi Maret - April, harga minyak memang jauh di bawah [brent], tapi juga lihat kurs Rupiah. Baru dihitung, gambarannya Rp1000 - Rp1.500," katanya.
Hanya saja, dia mengakui dengan kondisi bisnis migas, penyesuaian harga BBM akan memberatkan badan usaha, seperti Pertamina.
Berdasarkan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) Pertamina 2020, perseroan menargetkan pangsa pasar BBM untuk retail mencapai 98 persen, indsutrial 78 persen, oli 57 persen dan avtur sebesar 100 persen.
Untuk penjualan BBM penugasan, tahun ini Pertamina memperkirakan penjualannya mencapai 25,8 juta kiloliter, atau turun 6 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Terlebih pendapatan Pertamina ditopang dari penjualan BBM hingga 70 persen.
Pertamina pun mengaku, saat ini dalam kondisinya sedang tertekan. Menurunkan harga BBM bukan pilihan terbaik, setidaknya untuk kondisi keuangan perseroan.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan duduk perkara sulitnya menurunkan harga BBM di tengah kondisi harga minyak dunia yang tertekan dan melemahnya kurs mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat.
Nicke mengatakan harga BBM dibentuk menggunakan formula harga yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Dari sisi Pertamina, lanjutnya, penyesuaian harga akan sangat mudah jika pihaknya berperan sebagai trading company.
“Memang mudah sekali ketika harga BBM yang kita beli murah, maka kita langsung bisa kita jual,” katanya dalam RDP dengan Komisi VII DPR, Selasa (21/4/2020).
Tidak hanya itu, Nicke pun menyebut harga produksi BBM melalui kilang Pertamina masih kalah murah dibandingkan dengan impor produk. Dia mencontohkan, harga impor BBM senilai US$22,5 per barel sementara harga beli crude Pertamina pada pertengahan Maret lalu senilai US$24 per barel.
“Jadi dalam kondisi ini kan lebih baik kami tutup semua kilang. Tapi faktanya kan kami tidak bisa seperti itu. Jadi antara keputusan bisnis dan keputusan Pertamina sebagai BUMN motor penggerak ekonomi nasional sekarang jadi berbeda. Tapi kami harus cari jalan tengah,” ungkapnya.
Rudi Rubiandini, mantan Wamen ESDM, mengatakan persoalan penyesuaian harga BBM tidak sebatas melihat kondisi bisnis perusahaan. Pasalnya, badan usaha yang menikmati keuntungan berlebih tidak hanya Pertamina, tetapi juga Shell, BP, AKR, Total dan lainnya.
“Penentuan harga BBM sudah ada aturannya [formula harga], kemudian itu ada efek kepada masyarakat. Kalau ke Pertamina, APBN, itu di sisi yang berbeda. Kalau begini [harga tidak turun] bisa diartikan keuangan Pertamina disubsidi masyarakat?” katanya.
Soal besaran penurunan, Rudi enggan berandai-andai. Menurutnya, yang paling tepat adalah mengikuti aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Jika dalam formula harga dibatasi margin yang didapatkan badan usaha, maka sebaiknya pemerintah melakukan penyesuaian harga.
“Biar masyarakat percaya, kalau BBM naik ya karena harga minyak dunia naik. Kalau sekarang ditahan, terus bagaimana masyarakat bisa memahami mekanisme naik-turun harga BBM?,” tambahnya.
Pihak Kementerian ESDM pun mengaku terus mengikuti perkembangan global, terutama harga minyak dunia. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi mengatakan terkait harga BBM, pemerintah masih mencermati dan mengevaluasi terkait perkembangan harga minyak, termasuk rencana pemotongan produksi minyak OPEC+ mulai bulan depan.
Di awal Mare2020 terjadi konflik minyak antara negara OPEC dan non OPEC sehingga menyebabkan indikasi oversupply yang kemudian memicu turunnya harga minyak dunia yang tajam di awal maret 2020. Kejadian ini bersamaan dengan adanya pandemi Covid-19 yang mulai merebak sejak Februari 2020.
Dia menambahkan, pertimbangan lain yang dicermati bahwa kurs rupiah juga melemah dan konsumsi BBM jauh menurun, bahkan di beberapa kota seperti jakarta penurunan hingga 50 persen.
“Pemerintah memonitor perkembangan ini yang mana sebelumnya telah 2 kali dilakukan penurunan harga BBM JBU [jenis BBM umum] pada awal 2020. Saat ini harga BBM Indonesia masih merupakan salah satu yang termurah di Asia Tenggara dan beberapa negara di dunia lainnya," tambahnya.
Berdasarkan data Global Petrol Prices (21/4) , harga gasoline atau oktan 95 Indonesia berada pada urutan ketiga termurah se-Asean.
Adapun, harga oktan 95 termurah per 13 April 2020 masih dimiliki oleh Malaysia dengan harga US$0,29 per liter atau Rp4485 per liter dengan asumsi kurs Rp15.467 diikuti oleh Vietnam dengan harga US$0,52 per liter atau Rp8.042 per liter dan menyusul Indonesia dengan US$0,58 per liter atau Rp8.970 per liter.
Sementara itu, negara Asean yang memiliki harga oktan tertinggi adalah Laos dengan harga US$1,09 per liter atau Rp16.859 per liter.
Kondisi harga tersebut juga terjadi untuk jenis bahan bakar diesel dengan Malaysia dengan harga termurah yakni US$0,34 per liter atau Rp5.258 per liter dan diikuti oleh Vietnam dengan US$0,47 per liter, baru setelah itu ada Indonesia dengan harga US$0,63 per liter atau Rp9.744 per liter.
Laos masih menjadi negara dengan harga bahan bakar termahal di Kawasan Asean termasuk untuk jenis diesel dengan harga US$0,89 per liter atau Rp13.765 per liter.
Staf Pengajar Sekolah Bisnis Manajemen ITB Widyawan Prawira Atmaja mengatakan penurunan harga minyak mentah tidak serta merta setara dengan harga BBM. Eks Gubernur OPEC ini, menyebut harga minyak mentah yang berpengaruh untuk Indonesia adalah Brent bukan WTI. Minyak jenis WTI hanya mencerminkan pasar di Amerika Serikat saja.
Pertimbangan tidak menurunkan harga BBM adalah melihat seberapa lama pandemi akibat Covid-19 berlangsung. "Kalau Juli mendatang sudah selesai, lalu harga minyak kembali normal, penyesuaian BBM tidak semudah waktu menurunkan," katanya.
Menurutnya, pemerintah perlu juga mempertimbangkan faktor inflasi. Saat harga BBM turun, dampak pada inflasi tidak besar, berbeda saat harganya naik.
Kendati demikian, Widyawan menjelaskan opsi menurunkan harga BBM umum lebih terbuka, karena tidak melibatkan APBN. Menurutnya, penyesuaian harga BBM dengan penghitungan yang berlaku di Ditjen Migas dapat menjadi acuan.
“Ya, karena formula harga adalah faktor penting dalam penyesuaian BBM. Untuk penyesuaian harga BBM umum, relatif lebih mudah,” tutupnya.