Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelaku Bisnis Kompak Tunda Zero ODOL

Pemerintah dinilai hanya mencoba menyelesaikan permasalahan dari sisi industri, sedangkan ODOL merupakan permasalahan dari multisektor.
Ilustrasi Truk. Bisnis/Abdullah Azzam
Ilustrasi Truk. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Upaya pemberantasan truk obesitas atau over dimension over load (ODOL) mendapat tantangan dari pelaku industri yang berkonsolidasi membuat riset cost and benefit sebagai upaya penundaan berlakunya program tersebut.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menyatakan jika program tersebut tetap direalisasikan pada 2021, perekonomian nasional akan susut secara signifikan. Adapun, ada sekitar 5-6 sektor manufaktur yang mencoba menunda realisasi program tersebut.

"Negara kita terbuka ekonominya. Jadi, faktor efisiensi dan daya saing berpengaruh sementara cost logistik di Indonesia tinggi. Katakanlah kita tidak paling tinggi, tapi [daya saing biaya logistik] kita di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, mungkin sebentar lagi di bawah Kamboja," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gapmmi Rachmat Hidayat kepada Bisnis.com, akhir pekan lalu.

Rachmat mengatakan pelaku industri sepakat tidak menentang pelaksanaan program zero ODOL. Namun demikian, pemerintah saat ini hanya mencoba menyelesaikan permasalahan dari sisi industri, sedangkan ODOL merupakan permasalahan dari multisektor.

Dia menyatakan tidak ada jalan cepat untuk menyelesaikan permasalahan ODOL di dalam negeri. Maka dari itu, salah satu hasil riset cost and benefit tersebut merupakan peta jalan penyelesaian permasalahan ODOL hingga pada 2025 yang akan dirilis akhir bulan ini.

Menurutnya, pilihan pengurangan muatan akan menghasilkan efek ganda yang negatif dan tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. Pasalnya, pengurangan muatan akan memaksa jumlah kendaraan logistik di jalanan bertambah dan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia tidak dapat langsung tersedia.

"Untuk jadi supir truk itu butuh minimum 2 tahun. Kami ajukan ke pemerintah bahwa kami menuju ke sana [penyelesaian ODOL]. Kami bekerja butuh waktu yang cukup. Kalau industri makanan dan minuman butuh 5 tahun untuk memenuhi [penyelesaian] ODOL itu," jelasnya.

Rachmat menyatakan temuan awal penelitian tersebut adalah penyelesaian ODOL akan membuat biaya produksi pabrikan meningkat sekita 37-40 persen. Oleh karena itu dibutuhkan waktu penyesuaian biaya logistik tersebut alih-alih langsung diterapkan pada 2021.

Selain itu, lanjutnya, industri makanan dan minuman (mamin) membutuhkan tambahan investasi sekitar Rp20 triliun-Rp30 triliun untuk menambah ribuan armada logistik. Namun, perhitungan tersebut masih berupa perkiraan kasar dan akan lebih akurat saat hasil penelitian rampung.

Terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida menyampaikan penyelesaian ODOL akan menaikkan 30-40 persen ongkos logistik pabrikan. Walaupun berat produk dari kertas tidak berat, tapi volume truk yang digunakan besar lantaran karakteristik produk yang mengembang.

"Kami lagi bikin surat ke Menteri [Perhubungan] agar [industri] pulp dan kertas masuk ke dalam [daftar sektor industri yang mendapatkan] keringanan ODOL sampai 2022. Tapi, kami minta 3 tahun sampai 2023 atau 2024," katanya.

Di sisi lain, Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) menyatakan perlu ada tambahan 120 unit truk bagi seluruh industri kaca agar bisa melaksanakan zero ODOL pada 2025. Namun demikian, asosiasi masih harus mendata tipe-tipe truk yang dibutuhkan lantaran karakter dan ukuran kaca lembaran yang cukup banyak.

"Kita juga mengerti jangan sampai membebani, tapi dengan kondisi sekarang dengan [biaya] logistik naik tinggi, daya saing juga bisa terbebani. Apalagi, [biaya] logistik kita jauh lebih tinggi dari negara lain," kata Ketua Umum AKLP Yustinus Gunawan.

Pihaknya dapat melaksanakan program zero ODOL paling cepat pada awal 2024 dengan program percepatan armada logistik. Akan tetapi, aspek masa transisi menjadi penting, sehingga tidak langsung dilaksanakan pada tahun depan.

Menurutnya, masa transisi tersebut diperlukan untuk pengadaan unit truk, pelatihan SDM, dan perencanaan investasi. Pasalnya, program zero ODOL tidak akan membuat pabrikan beralih menggunakan transportasi kereta barang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper