Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (Gapmmi) mendorong impor bahan baku dari Amerika Serikat (AS) dengan tarif 0% dapat segera terlaksana. Implementasi impor ini dinilai dapat memengaruhi daya saing di tengah tarif ekspor Indonesia ke AS yang saat ini turun ke angka 19%.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan penerapan tarif tersebut akan berdampak pada daya saing produk makanan dan minuman, terlebih dengan produk asal Vietnam yang juga masuk di pasar AS.
"Kita tingkatkan daya saingnya, kita bisa berharap menambah penjualan ekspor kita ke Amerika dan kita bisa mengalahkan Vietnam gitu ya, karena Vietnam cukup besar," kata Adhi saat ditemui di Kantor Kementerian Perekonomian, Senin (21/7/2025)
Adapun, penerapan tarif yang ditetapkan AS untuk Indonesia belum final berlaku pada 1 Agustus 2025. Tarif tersebut masih fleksibel atau dapat berubah seiring dengan realisasi komitmen pembelian bahan baku dari AS oleh Indonesia.
Dalam hal ini, dia menegaskan bahwa impor dari AS harus berupa bahan baku untuk memastikan nilai tambah dalam negeri dan kemudian diekspor sebagai produk jadi dari Indonesia.
"Jadi dari agriculture [pertanian] tadi diminta beberapa komoditas untuk realisasi [impor] dan kami sudah komitmen juga. Antara lain dari gandum, jagung, kedelai, susu dan lain sebagainya," ujarnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Indonesia dan AS juga memiliki skema ketelusuran (traceability) produk yang dapat mengurangi tarif masuk ke AS. Namun, skema perhitungannya masih dalam pembahasan.
"Berdasarkan traceability-nya nanti akan dihitung. Itu yang kesepakatan dengan AS. Contoh kapas, kapas itu diimpor berapa [dari AS], kemudian kapas ini bisa mengurangi [tarif produk] yang masuk yang ke sana, produk jadinya ke Amerika, tapi persentasenya berdasarkan traceability," jelasnya.
Dengan demikian, Adhi optimistis bahwa Indonesia dapat diberikan tarif resiprokal yang lebih rendah dari 19%. Di sisi lain, ada beberapa aspek yang harus diperbaiki di dalam negeri supaya produk lokal dapat lebih berdaya saing.
Penurunan tarif ekspor Indonesia ke AS sangat penting lantaran ekspor makanan dan minuman yang cukup tinggi, yakni senilai US$1,8 miliar atau 15% dari total ekspor produk olahan pangan senilai US$12 miliar.
"Jadi Pak Menko [Airlangga Hartarto] memberikan arahan menurunkan hambatan-hambatan biaya dalam negeri untuk meningkatkan daya saing kita, seperti itu. Nah, ini saya kira ini cukup bagus, positif ya," tambahnya.
Terkait dengan tarif 0% untuk produk AS yang masuk ke Indonesia, Adhi menilai hal tersebut tidak menjadi tantangan. Sebab, selama ini produk pertanian seperti gandum dan kedelai telah lama diganjar tarif 0%.
Sementara itu, tarif untuk susu dan jagung tengah diupayakan untuk turun ke 0% dari yang berlaku saat ini sebesar 5%. Penurunan tarif ini dapat membuat tarif ekspor produk Indonesia ke AS ikut turun.
"Tadi Pak Menko memaparkan, sebenarnya sudah banyak [dalam] perundingan-perundingan lain sudah 0%. Mulai dengan Indonesia-Australia-Jepang, kemudian nanti Indonesia-EU-Jepang, kemudian melalui Asean-Jepang. Asean itu juga sudah nol semua. Jadi sebetulnya nggak ada masalah. Karena memang sudah eranya nol," kata Adhi.