Bisnis.com, JAKARTA - Overdimension overload (ODOL) adalah kebijakan niat baik pemerintah untuk melindungi jalan, jembatan, dan keselamatan jiwa. Namun, seperti sisi lain mata uang, penerapan tanpa desain transisi yang matang dapat memunculkan biaya sosial, ekonomi, dan industri yang signifikan. Indonesia memiliki MST (muatan sumbu terberat) 10 ton untuk jalan Kelas I dan 8 ton untuk Kelas II–III, salah satu yang paling ketat di dunia. Batas ini adalah garis merah yang tidak boleh dilonggarkan. Jalan keluarnya bukan menaikkan MST, melainkan menata desain kendaraan, memilih rute yang aman, dan mengoptimalkan volume angkutan.
Kebijakan ODOL bertujuan memperpanjang umur teknis jalan dan jembatan. Kenaikan beban sumbu sedikit saja dapat mempercepat kerusakan perkerasan dengan eksponen tiga hingga empat kali lipat. Untuk jembatan, peningkatan beban mempercepat kelelahan material dan mempersempit margin keselamatan. Di sisi lain, industri barang bernilai rendah seperti semen, pupuk, baja, dan CPO bergantung pada biaya logistik yang efisien. Penurunan muatan per rit dari 32 ton menjadi 18–20 ton dapat meningkatkan ritasi 60%—80%, memicu lonjakan biaya BBM, tol, sopir, dan perawatan, serta menambah emisi dan kepadatan di simpul logistik.
Pelajaran dari luar negeri menunjukkan bahwa efisiensi tidak harus dibayar dengan kerusakan infrastruktur. Australia menerapkan Performance-Based Standards (PBS), mengizinkan konfigurasi multi-sumbu di koridor yang layak dengan syarat kinerja kendaraan teruji (stabilitas, pengereman, distribusi beban) dan dipantau telematika. Inggris mengembangkan Longer Semi-Trailer (LST) untuk barang volumetrik, menambah ruang tanpa menambah bobot legal. Selandia Baru menggunakan izin rute 50MAX dan High Productivity Motor Vehicles (HPMV), menambah muatan total dengan menyebar beban ke lebih banyak sumbu dan hanya di rute yang aman bagi jembatan.
Dari studi kasus di Indonesia, terlihat pola serupa. Angkutan semen dari Tuban—Banyuwangi (500 km, 500.000 ton/tahun) dengan muatan turun dari 32 ton menjadi 18 ton menambah sekitar 12.000 rit per tahun, biaya tambahan lebih dari Rp90 miliar, dan emisi tambahan sekitar 21.000 ton CO2. Angkutan pupuk lintas Jawa–Sumatra (600 km, 350.000 ton/tahun) mengalami kenaikan ritasi 66% dengan dampak biaya dan kelancaran distribusi yang signifikan. Baja lembaran Cilegon–Karawang (150 km, 250.000 ton/tahun) membutuhkan standar pengereman dan stabilitas ketat agar aman, bukan sekadar penambahan sumbu. Untuk FMCG seperti air mineral, masalah utamanya ruang; perpanjangan trailer seperti LST mampu menaikkan palet per rit 10%—15% tanpa menambah beban sumbu.
Berdasarkan kondisi tersebut, saya mengusulkan ID Optimix (Indonesia Optimized Logistics Mix) sebagai kerangka kebijakan-operasional yang menjaga ketatnya MST Indonesia sambil menurunkan ritasi dan biaya secara aman. Prinsip dasarnya: MST tidak berubah; produktivitas ditingkatkan lewat pembagian beban ke lebih banyak sumbu, uji kinerja kendaraan, izin rute pada koridor yang jembatannya layak, serta penambahan volume tanpa bobot untuk barang volumetrik. Semua dijalankan di bawah penegakan berbasis data: weigh-in-motion (WIM) di simpul koridor, perizinan digital yang dapat dicabut otomatis, dan telematika wajib untuk armada berizin.
ID Optimix bekerja melalui tiga instrumen utama. Pertama, desain kendaraan berbasis performa, mengacu pada parameter PBS yang dapat diuji oleh pihak ketiga: stabilitas, pengereman, off-tracking, dan distribusi beban sumbu. Kedua, izin rute multi-sumbu ala
Baca Juga
50MAX/HPMV untuk bulk bernilai rendah di koridor yang telah lulus asesmen jembatan.
Ketiga, optimasi volume melalui LST di rute dengan geometri aman untuk barang volumetrik. Semua armada berizin wajib memasang telematika dan lulus WIM secara konsisten.
Untuk semen di koridor Trans-Jawa, misalnya, izin multi-sumbu dapat menaikkan muatan bersih per rit menjadi 22–24 ton bagi armada yang lulus uji, menurunkan ritasi 12%—16% dari skenario ODOL penuh, menghemat biaya puluhan miliar rupiah, dan mengurangi emisi. Pada rute pupuk antarpulau, izin rute bertahap memungkinkan ritasi turun dua digit persen, membantu menahan harga di musim tanam. Untuk baja, manfaat utamanya adalah keselamatan: standar pengereman dan stabilitas yang ketat mengurangi insiden mendadak di jalan. Untuk FMCG, LST terbatas di rute tertentu menurunkan ritasi 8%—12% dan memperbaiki ketepatan waktu distribusi.
Implementasi ID Optimix dapat dimulai dalam dua tahun. Fase awal (0–6 bulan) menetapkan koridor prioritas, asesmen jembatan, pemasangan WIM, dan akreditasi lembaga uji kendaraan. Fase berikutnya (6–12 bulan) meluncurkan izin rute di koridor bulk, pilot LST untuk FMCG, dan integrasi WIM dengan perizinan digital serta sanksi progresif. Fase 12–24 bulan memperluas koridor izin, memperbanyak titik WIM, dan menyalakan skema pembiayaan peremajaan armad, leasing berbunga ringan, insentif pajak retrofit, dan dana bergulir koperasi angkutan.
Manfaat makroekonominya jelas. Penurunan ritasi mengurangi biaya per ton-kilometer, menekan inflasi inti untuk barang bernilai rendah, mengurangi emisi CO2, dan meredakan kemacetan di simpul logistik. Keselamatan meningkat karena setiap armada berizin wajib lulus uji kinerja dan perilaku sopir terekam telematika. Pasar juga mendapat sinyal positif: operator patuh mendapat akses rute, premi asuransi lebih rendah, dan reputasi yang lebih baik.
Kebijakan ODOL perlu dijalankan dengan disiplin dan kecermatan. MST yang ketat adalah aset strategis Indonesia untuk menjaga umur infrastruktur dan keselamatan publik. ID Optimix menawarkan jalan tengah yang realistis: menggabungkan disiplin MST dengan produktivitas logistik melalui desain kendaraan yang aman, izin rute yang selektif, dan optimasi volume yang cerdas. Tujuannya sederhana namun krusial: barang sampai tepat waktu, jalan tetap kuat, biaya terkendali, dan sopir pulang selamat.