Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dilema Dominasi Pekerja Informal, Jadi Pemicu Jebloknya Rasio Pajak?

Dominasi pekerja informal di Indonesia menghambat peningkatan rasio pajak karena sulitnya penarikan pajak dari sektor ini. Pekerja informal mencapai 59% pada 2025.
Pedagang melayani pembeli di salah satu pasar di Jakarta, Rabu (25/6/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pedagang melayani pembeli di salah satu pasar di Jakarta, Rabu (25/6/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Dominasi pekerja informal dalam struktur ketenagakerjaan menjadi salah satu alasan betapa rendahnya rasio pajak di Indonesia. Pekerja informal cenderung hard to tax karena mereka tidak memiliki gaji atau penghasilan tetap hingga omset mereka nyaris tidak bisa diketahui karena minimnya pembukuan.

Besarnya porsi pekerja informal dalam struktur pekerjaan di Indonesia itu juga menjadi tanda tanya besar mengenai keseriusan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerja sekaligus kebijakan industrialisasi yang digembar-gemborkan selama ini.

Sekadar catatan bahwa, dominasi pekerja informal tampak dalam data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) periode Februari 2025. Tren selama tiga tahun ke belakang, persentase pekerja informal dalam struktur ketenegakerjaan cenderung fluktuatif.

Pada Februari 2023 misalnya, jumlahnya pernah mencapai angka 60,12%. Angka itu turun pada Februari 2024 menjadi 59,17%. Namun demikian angka informalitas kembali naik menjadi 59,4% pada Februari 2024. Sementara sektor formal di tiga periode survei itu berada di angka 39,88%, 40,83%, dan 40,60%.

Adapun pekerja formal lebih banyak terserap di sektor padat modal seperti energi dan minyak dan gas (migas), menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.

“Pekerja formal mendominasi sektor migas dan energi, mencapai lebih dari 85%. Sementara sektor lain masih didominasi pekerja informal,” ujar Amalia dalam PYC International Energy Conference 2025 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8/2025).

Peningkatan angka informalitas pada periode Februari 2025 itu sejalan dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja alias PHK massal yang terjadi pada awal tahun ini. Tren ini masih berlangsung, kendati eskalasinya tidak sesignifikan bulan Januari-Februari 2025.

Data Kementerian Ketenagakerjaan, misalnya, menyebutkan bahwa pada Februari 2025, jumlah pekerja yang kena PHK mencapai 17.796. Sementara secara kumulatif hingga akhir Juni 2026, ada sekitar 30.000 pekerja yang terkena PHK. Pada bulan Juli, jumlah itu bertambah dengan angka 1.118 pekerja.

Entah memiliki korelasi atau tidak, kalau merujuk data kepatuhan formal wajib pajak, sampai April 2025 lalu, kepatuhan WP OP dalam melaporkan SPT tahun pajak 2024 hanya di angka 12,9 juta. Sementara kepatuhan WP OP untuk tahun pajak 2023 menembus angka 13,15 juta atau ada penurunan sekitar 159.539 WP wajib lapor SPT.

Perbaikan Citra Publik

Sebelumnya, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal meyakini bahwa kepercayaan publik terhadap integritas institusi menjadi faktor krusial untuk mengembalikan kepatuhan formal wajib pajak.

Yon menjelaskan, studi lama menunjukkan perilaku kepatuhan wajib pajak masih banyak dipengaruhi faktor ekonomi.

Oleh sebab itu, sambungnya, strategi utama pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan adalah penerapan penalti, denda, hingga sanksi administrasi.

Masalahnya, dia mengungkapkan bahwa berbagai studi terbaru di berbagai negara menunjukkan adanya perkembangan perilaku yang berbeda dari wajib pajak. Menurut Yon, kini faktor-faktor non-ekonomi lebih mempengaruhi kepatuhan pajak seperti kepercayaan dan kepemimpinan.

“Nah saya pikir memang untuk penciptaan trust [kepercayaan] dari masyarakat ini harus satu paket, bahwa trust dalam konteks pemungutan pajak di mana institusi pajak harus menjaga integritasnya," ujar Yon dalam diskusi di Kantor Celios, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Tabel Kepatuhan Formal WP (2023-April 2025)

Tahun WP OP WP Badan
2023 12.290.790 860.351
2024 13.159.400 1.048.242
2025 12.999.790 .1053.360

Dia menggarisbawahi kepercayaan masyarakat kepada institusi pajak penting karena Indonesia menganut sistem self-assessment, yang mana wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.

Yon menjelaskan bahwa otoritas pajak tidak bisa memeriksa seluruh wajib pajak setiap tahun. Dia mencontohkan, pada 2003 wajib pajak di Indonesia hanya 3–4 juta, namun kini sudah melonjak menjadi 65 juta.

"Kan tidak mungkin dijangkau satu-satu saat pemeriksaan, sehingga harus bergantung kepada self-assessment. Nah, self-assessment ini berarti kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela itu menjadi sangat penting. Ini terbentuk salah satunya berdasarkan trust-nya yang muncul,” ungkapnya.

Beda Standarisasi

Adapun peneliti senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengingatkan bahwa definisi pekerja informal versi BPS sedikit berbeda dengan versi International Labour Organization (ILO).

BPS mendefinisikan penduduk yang bekerja pada kegiatan formal mencakup status berusaha dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan/pegawai. Status pekerjaan lainnya masuk ke kegiatan informal.

Sementara itu, Deni mengungkapkan bahwa pekerja formal versi ILO juga mencakup mereka yang punya perlindungan/asuransi dan dana pensiun—jika tidak punya maka termasuk pekerja informal. Akibatnya, persentase pekerja formal/informal Indonesia versi BPS dan ILO berbeda.

"Angka 59% itu tenaga kerja informal versi BPS. Kalau versi ILO, angkanya itu sampai 80% lebih," ujar Deni kepada Bisnis, Senin (25/8/2025).

Deni menjelaskan bahwa rendahnya rasio pajak selama ini tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi Indonesia yang masih didominasi oleh sektor informal atau underground economy.

Misalnya, hanya ada 19,7 wajib pajak (badan dan orang pribadi) yang wajib melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) 2024. Padahal, ada 145,77 juta penduduk yang bekerja pada Februari 2025.

"Bukan hanya karena sulit melacaknya, tapi ya karena kebanyakan dari mereka [sektor informal] juga belum layak untuk kena pajak atau masih di bawah pendapatan kena pajak," jelas Deni.

Adapun sejak 2014, rasio perpajakan terhadap PDB Indonesia selalu di bawah 11%. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, terjadi tren penurunan: 10,39% pada 2022; 10,31% pada 2023; 10,08% pada 2024; outlook 10,03% pada 2025.

Lebih lanjut, Deni juga tak heran apabila pekerja formal terkonsentrasi ke sektor padat karya seperti migas dan pertambangan. Alasannya sederhana, yaitu karena sektor-sektor tersebut sulit berusaha tanpa dibantu buruh/karyawan/pegawai—seperti definisi kegiatan formal versi BPS.

Kendati demikian, sambungnya, bukan berarti bahwa sektor-sektor lain tidak memiliki pekerja formal. Hanya saja, porsinya tidak sebesar di sektor migas dan pertambangan.

"Jadi formal/informalnya tergantung nature [karakter] dari tiap sektornya juga," jelasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro