Bisnis.com, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan kuartal II/2024 masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, khususnya belanja dari sektor informal. Sejalan dengan hal tersebut, kontribusi industri pengolahan atau manufaktur pun tak menyentuh angka 19% sejak kuartal II/2022.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan PDB kuartal II/2025 berdasarkan pengeluarannya meliputi konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 4,97% yoy dari kuartal II/2024. Kontribusinya ke perekonomian pada tiga bulan kedua 2025 masih merupakan yang terbesra yakni hingga 54,25%.
Sementara itu, investasi atau PMTB menyumbang 27,83% dengan pertumbuhan 6,99% yoy atau tertinggi sejak kuartal II/2021. Kemudian, kinerja ekspor tumbuh 10,67% yoy dan berkontribusi 22,28%, sedangkan impor tumbuh 11,65% yoy dan kontribusinya minus 20,66%.
Satu-satunya pertumbuhan PDB menurut pengeluaran yang terkontraksi adalah adalah konsumsi pemerintah yakni minus 0,33% yoy. Pada kuartal II/2024, pertumbuhan konsumsi pemerintah yaitu 1,42% yoy.
"Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan 2/2024 atau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%," ujar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud pada konferensi pers, Selasa (5/8/2025).
Sementara itu, berdasarkan lapangan usaha, pertumbuhan yang tercatat signifikan secara tahunan yaitu jasa lainnya 11,31%, jasa perusahaan 9,31% yoy, transportasi dan pergudangan 8,52% serta penyediaan akomodasi dan makan minum 8,04%.
Baca Juga
Industri pengolahan, atau manufaktur, hanya tumbuh 5,68% yoy. Namun, distribusinya terhadap PDB Indonesia kuartal II/2025 tetap terbesar yakni 18,67%, mengalahkan pertanian, kehutanan dan perikanan, maupun perdagangan besar dan eceram, reparasi mobil dan sepeda motor.
Meski demikian, kontribusinya terhadap PDB pada kuartal II/2025 tidak bergerak ke angka 20%. Bahkan, sejak kuartal II/2020, distribusi PDB menurut lapangan usaha dari industri pengolahan tidak pernah menyentuh 20% terhadap PDB.
Dari kuartal II/2020 hingga kuartal II/2025, kontribusi manufaktur tercatat hanya di kisaran 18% hingga 19% saja. Tertinggi yakni 19,87% pada kuartal II/2020, dan pernah jatuh sampai ke 17,92% pada kuarta/ II/2022. Besarannya beranjak naik saat kuartal II/2023 yakni 18,62% dan turun tipis ke 18,52% pada kuartal II/2024.
Sejalan dengan hal tersebut, tenaga kerja informal tetap mendominasi angkatan kerja Indonesia. Masih merujuk data BPS pada Februari 2025, statistik menunjukkan bahwa sebanyak 86,58 juta orang bekerja di sektor informal dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang. Itu artinya, hampir 60% orang bekerja di Indonesia berada di sektor informal.
Sebaliknya, pada periode tersebut juga, hanya 59,19 juta orang yang bekerja di sektor formal atau sebesar 40,60% dari total angkatan kerja.
Besaran persentase pekerja sektor informal pun naik dari periode Februari 2024 atau setahun sebelumnya, yakni dari 59,17%. Bahkan, pada Februari 2023 sempat menyentuh 60,12%.
Tercatat bahwa pekerja sektor informal semakin banyak setelah pandemi Covid-19 pada 2020. Pada Februari 2020, atau sebulan sebelum dunia dinyatakan mengalami pandemi akibat coronavirus, BPS melaporkan bahwa pekerja informal sebesar 56,64%, dan formmal 43,36%.
Setelahnya, persentase pekerja informal meningkat ke kisaran 59% yakni 59,62% pada 2021, 59,97% pada 2022 dan menyentuh 60,12% pada 2023.
Dampak Masa Depan
Di tengah keraguan terhadap data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% yoy, sektor informal dinilai tumbuh dan bertahan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Pranjul Bhandari, Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research pada media briefing yang diselenggarakan secara daring, Jumat (8/8/2025), mencontohkan ketahanan sektor informal itu terlihat dari belanja makanan, minuman, pakaian, produk energi serta kebutuhan lain-lain.
"Ada banyak pertanyaan apakah ekonomi Indonesia benar-benar tumbuh? Jawaban dari saya, iya. Apabila anda melihat secara dekat dan melihat sektor informasi dan konsumsi masyarakat, itu telah meningkat apabila dibandingkan dengan tahun lalu," tuturnya.
Grafik Kontribusi Manufaktur dan Sektor Pekerja
Sumber: BPS, manufaktur (kuartal II 2021-2025), pekerja Februari 2025
Kendati demikian, pertumbuhan sektor informal itu menimbulkan pertanyaan terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya. Sektor informal, terang Pranjul, yang menyumbang 55% dari konsumsi diakui memperlihatkan kinerja yang lebih baik. Hal itu berbanding terbalik dengan konsumsi sektor formal yang menyumbang 45%.
Belanja sektor formal itu meliputi perdagangan hingga investasi perusahaan, yang dinilai Pranjul melemah akibat ketidakpastian tarif impor yang dikenakan Amerika Serikat (AS). Dalam hal ini, barang Indonesia yang diimpor dikenai tarif 19%.
Masih ada Potensi Tumbuh
Kepala Ekonom HSBC untuk Indonesia dan India itu melihat ada potensi yang bisa dikembangkan Indonesia di tengah tarif Trump, kendati berlakunya tarif impor 19% terhadap Indonesia diperkirakan bisa berdampak ke pertumbuhan ekonomi.
"Tarif sekitar 19% hingga 20% sebenarnya bisa merugikan pertumbuhan sekitar 0,3 poin persentase," terang Pranjul pada media briefing tersebut.
Pranjul melihat bahwa tarif impor 19% itu dapat berdampak buruk untuk jangka pendek. Namun, untuk jangka menengah, dia menilai ada peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menggenjot investasi dari perusahaan atau corporate investment.
Menurutnya, rantai pasok global saat ini sedang ditata ulang di seluruh dunia akibat tarif yang dikenakan pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Rantai pasok yang paling terpengaruh adalah untuk manufaktur berteknologi menengah maupun barang konsumsi, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki serta furnitur.
Akibatnya, perusahaan multinasional mencari tujuan baru untuk berproduksi dan berjualan. Untuk itu, Indonesia dinilai bisa mendapatkan keuntungan saat badai tarif Trump ini mereda.
Pranjul menyebut selama ini ekspor Indonesia ke China hampir seluruhnya berupa komoditas atau barang mentah. Sedangkan, ekspor ke negara-negara maju seperti AS maupun Uni Eropa, ekspor lebih banyak berbentuk barang jadi atau barang konsumsi seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki.
Akan tetapi, timpalnya, jumlahnya masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam. Oleh sebab itu, jumlahnya harus ditingkatkan sebagaimana untuk barang-barang berteknologi menengah.
Pranjul lalu menyebut di situlah Indonesia bisa mengambil peluang. Terutama saat perusahaan-perusahaan manufaktur dunia tengah mencari tujuan investasi baru, Indonesia bisa unjuk gigi karena sudah bisa memproduksi barang-barang konsumsi maupun berteknologi menengah itu.
Hal itu, lanjut Pranjul, sangat tergantung dengan reformasi yang dilakukan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Baik dari sisi peningkatan infrastruktur, perluasan perjanjian perdagangan utamanya dengan negara-negara maju, pengembangan keterampilan tenaga kerja dalam negeri serta merampingkan proses bisnis.
Pranjul memperkirakan penanaman modal asing (PMA) Indonesia akan melonjak dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun apabila hal itu terwujud.
"Jika Indonesia dapat melakukan semua ini dengan benar, saya pikir dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun, ini bisa menjadi peluang bagi arus masuk FDI [foreign direct investment] dan pertumbuhan," pungkasnya.