Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beda Sikap Ekonom Tanggapi Data Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025

Ekonom meragukan data BPS tentang pertumbuhan ekonomi RI Q2 2025 sebesar 5,12% yoy. Celios melaporkan BPS ke PBB terkait transparansi data.
Anak-anak bermain dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (6/8/2025). JIBI/Bisnis/Abdurachman
Anak-anak bermain dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (6/8/2025). JIBI/Bisnis/Abdurachman
Ringkasan Berita
  • Sejumlah ekonom meragukan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 sebesar 5,12% (yoy) dan Celios melaporkan BPS ke Komisi Statistik PBB terkait transparansi dan akurasi data tersebut.
  • BPS dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kepercayaan terhadap data BPS, menyatakan bahwa metodologi dan kualitas data sudah sesuai standar internasional.
  • Beberapa ekonom, termasuk dari HSBC, mengakui adanya pertumbuhan dari belanja modal pemerintah dan konsumsi rumah tangga, meskipun ada indikator lain yang menunjukkan pelemahan ekonomi.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA -- Ketidakpercayaan sejumlah ekonom maupun analis terhadap data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% (yoy) dari 2024 semakin nyata. Salah satu lembaga studi ekonomi Indonesia sampai melaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) ke Komisi Statistik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), atau United Nations Statistical Commission. 

Lembaga studi ekonomi dimaksud adalah Center of Economic and Law Studies (Celios). Lembaga yang menaungi sejumlah ekonom seperti Bhima Yudhistira dan Nailul Huda itu menyurati Komisi Statistik PBB itu terkait dengan transparansi hingga independensi penghitungan data PDB oleh BPS untuk tiga bulan kedua 2025. 

Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, surat tertanggal 8 Agustus 2025 itu ditujukan untuk Komisi Statistik PBB. Celios menyurati lembaga itu atas keprihatinan ihwal reliabilitas dan akurasi penghitungan pertumbuhan PDB Indonesia oleh BPS. 

"Kami menulis surat ini untuk menyampaikan keprihatinan mendalam kami terkait meningkatnya jumlah inkonsistensi dan anomali yang ditemukan dalam data ekonomi nasional [PDB triwulan kedua 2025] yang baru-baru ini diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik [BPS]," demikian dikutip Bisnis, Jumat (8/8/2025). 

Persoalan-persoalan ini, lanjut surat tersebut, khususnya berkaitan dengan penghitungan PDB, telah menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi, akurasi, dan independensi praktik statistik di Indonesia.

Celios menuturkan bahwa ketika kredibilitas data nasional diragukan, maka dampaknya bisa sangat jauh dan memengaruhi kepercayaan investor, perbandingan internasional serta kemampuan masyarakat sipil untuk berdiskusi soal kebijakan berdasarkan bukti. 

Beberapa inkonsistensi pada data BPS itu, terang Celios, dinilai tidak merepresentasikan realitas ekonomi dalam negeri. Beberapa komponen utama PDB dinilai tidak terhubung dengan indikator utama, seperti pendapatan pemerintah, volatilitas data yang tidak dijelaskan serta kurangnya keterbukaan atas metodologi penghitungan. 

Lembaga itu mengkhawatirkan adanya kecurigaan terhadap intervensi politik terhadap pelaporan statistik, yang seharusnya netral. "Kami sangat khawatir data ekonomi makro digunakan untuk mendukung narasi politik dari pemerintahan saat ini, sehingga merusak kepercayaan publik terhadap statistik resmi," terang surat tersebut. 

Bisnis pun telah menghubungi BPS, salah satunya Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti terkait dengan surat Celios itu. Namun, belum ada respons yang diberikan sampai dengan berita ini dimuat. 

Kendati demikian, usai menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Rabu (6/8/2025), Amalia memastikan kualitas data pendukung yang digunakan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% yoy itu.

Amalia menyebut data-data yang dihimpun dan disajikan BPS termasuk metodologi penghitungan terhadap perekonomian kuartal II/2025 sudah mengikuti standar dunia. "Kan ada standar internasional," ujar Amalia secara singkat kepada wartawan. 

Amalia lalu menegaskan bahwa data-data pendukung yang digunakan untuk menentukan pertumbuhan PDB itu sudah dipastikan kualitas sumber dan metodologinya. Saat ditanya terkait dengan keraguan sejumlah ekonom atas data tersebut, Amalia menegaskan bahwa keseluruhan data sudah bagus. 

"Data-data pendukungnya udah oke. Udah semua. Pendukungnya sudah mantap lah itu," tegas perempuan yang juga mantan Deputi Kementerian PPN/Bappenas itu. 

Respons Menkeu Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menegaskan tetap memercaya data BPS itu. Menteri Keuangan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengatakan,  pemerintah selama ini selalu menggunakan data dari BPS termasuk untuk indikator perekonomian Indonesia.

"Ya kita selama ini menggunakan BPS kan ya. Jadi, BPS tentunya menjelaskan mengenai datanya, metodologinya, sumber informasinya, kita tetap memercayai BPS," ujarnya kepada wartawan usai Rapat Kabinet Paripurna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/8/2025). 

Bendahara Negara menjelaskan, seluruh data indikator yang mendukung data Produk Domestik Bruto (PDB) semuanya berasal dari BPS. Misalnya, Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) hingga konsumsi rumah tangga.

Dia menegaskan BPS masih memegang integritas. "Jadi, saya rasa BPS tetap berpegang kepada integritas pada datanya," tutur perempuan yang akrab disapa Ani itu. 

Beda Sikap Ekonom Tanggapi Data Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan pada konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin (28/7/2025). / Bisnis-Himawan L. Nugraha

Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% yoy itu melebihi ekspektasi pasar yang tercermin dari setidaknya konsensus 30 analis yang dihimpun Bloomberg sebelumnya. Nilai median perkiraan pertumbuhan PDB pada tiga bulan kedua 2025 itu hanya 4,8%, dengan pertumbuhan tertinggi mencapai 5% yoy oleh dua orang analis. 

Adapun Ekonom Senior Indef, M. Fadhil Hasan misalnya, masih mempertanyakan data itu karena indikator utama perekonomian RI justru menunjukkan pelemahan. Misalnya, penjualan motor dan mobil, PMI manufaktur dalam fase kontraksi di bawah 50, konsumsi rumah tangga turun, serta investasi. 

Padahal, investasi atau PMTB dilaporkan BPS tumbuh 6,99% yoy pada kuartal II/2025 atau tertinggi sejak kuartal II/2021. Investasi dan konsumsi rumah tangga menjadi dua motor terbesar pertumbuhan kuartal II/2025. 

Fadhil lalu merujuk pada data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, yang menunjukkan turunnya perolehan penanaman modal asing atau PMA (foreign direct investment/FDI). 

"FDI asing, ini keterangan dari Pak Rosan sendiri [Menteri Investasi] menyatakan bahwa turun Rp202,2 triliun dari periode tahun lalu triwulan II/2024 Rp217,3 triliun," kata Fadhil pada acara yang sama. 

Kemudian terdapat indikator lain seperti pertumbuhan kredit yang disebut memiliki korelasi tinggi dengan situasi perekonomian. Selanjutnya, ada peningkatan PHK selama semester I/2025, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun, serta pesimisme terhadap penghasilan masyarakat. 

Lalu, ada net capital outflow di pasar keuangan Indonesia serta turunnya penerimaan pajak, khususnya PPN dan PPnBM. Pajak, kata Fadhil, seharusnya seiring dengan pertumbuhan ekonomi. 

"Jadi, saya kira ini sesuatu yang juga menyebabkan atau mendorong seharusnya pemerintah itu lebih transparan lagi lebih terbuka lagi, lebih akuntabel lagi dalam hal pendataan tentang pertumbuhan ekonomi tersebut," ujarnya.

Sementara itu, salah satu ekonom yang proyeksinya dihimpun oleh Bloomberg, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya memperkirakan PDB kuartal II/2025 hanya tumbuh 4,76% yoy. Dia mengakui bahwa data BPS yang dirilis Selasa pagi itu mengejutkan pasar. 

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar 5,12% (yoy) yang diumumkan oleh BPS memang mengejutkan pasar, terutama karena seluruh estimasi konsensus Bloomberg berada di bawah angka tersebut, bahkan estimasi tertingginya hanya menyentuh 5,0%," terang Josua kepada Bisnis, Selasa (5/8/2025). 

Menurut Josua, lonjakan pertumbuhan yang dirilis BPS itu tidak hanya melampaui ekspektasi pasar, tetapi juga terjadi di tengah narasi yang kontras. Salah satunya adalah Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih berada di zona kontraksi selama kuartal tersebut, yakni berkisar 49. 

Tidak hanya itu, persepsi umum menunjukkan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih. "Maka, muncul pertanyaan fundamental dari mana sebenarnya sumber pertumbuhan yang mengejutkan ini?" ungkap Josua. 

Pandangan Kontra

Kendati demikian, HSBC Global Research mengaku terdapat indikator pertumbuhan yang memang terlihat pada data PDB kuartal II/2025 dari segi konsumsi. 

Pranjul Bhandari, Chief Indonesia and India Economist pada HSBC Global Research menyampaikan bahwa tidak ada alasan baginya untuk tidak memercayai data dari BPS. Menurutnya, hasil pendalaman yang dilakukan terhadap data itu antar sektor, investasi dan konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh sehingga mendorong PDB melesat di atas ekspektasi. 

"Ketika saya mendalami data investasi [PMTB], saya temukan itu berasal dari belanja modal pemerintah [government capital expenditure]. Lalu, saya cocokkan dengan data belanja pemerintah, saya sebenarnya bisa melihat [pertumbuhan] itu. Pada April, Mei, Juni, pemerintah belanja modal lebih banyak dari kuartal sebelumnya, dan itu terlihat pada data PDB," terangnya pada media briefing secara daring, Jumat (8/8/2025). 

Selain itu, Pranjul melihat pertumbuhan kegiatan konstruksi juga menjadi motor di mana itu berasal dari belanja modal pemerintah. BPS, dalam rilisnya, menyampaikan sejumlah proyek turut mendorong pertumbuhan itu melalui proyek-proyek sejumlah jalan tol hingga pembangunan MRT Jakarta Fase 2. 

Tidak hanya itu, Pranjul melihat konsumsi rumah tangga masih berdaya tahan di level pertumbuhan 4,97% yoy. Menurutnya, torehan itu lebih baik dari beberapa waktu sebelumnya, yang mencerminkan lebih banyak belanja makanan, bahan bakar minyak, pakaian, didukung oleh rendahnya inflasi serta program stimulus pemerintah.

"Memang benar konsumsi kelas atas lebih lemah dari sebelumnya, misalnya penjualan kendaraan penumpang, transaksi kartu kredit," ungkapnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro