Bisnis.com, JAKARTA – Boeing memperingatkan kemungkinan untuk menghentikan produksi jet 737 Max jika larangan terbang yang diberlakukan secara global berlangsung lebih lama dari perkiraan.
Mengutip Bloomberg, pabrikan pesawat asal Amerika Serikat (AS) saat ini tengah mengkaji berbagai skenario jika timeline untuk pengembalian operasional 737 Max tertinggal secara signifikan.
“Alternatif-alternatif itu dapat mencakup tingkat produksi berbeda, termasuk penghentian sementara,” ujar CEO Boeing Dennis Muilenburg dalam paparan laporan kinerja keuangannya pada Rabu (24/7/2019).
“Ini bukan sesuatu yang ingin kami lakukan, tetapi alternatif yang harus kami persiapkan,” tambahnya.
Meski optimistis pesawat topnya itu akan kembali beroperasi pada awal Oktober, Muilenburg untuk pertama kalinya mengakui bahwa Boeing mungkin harus memperlambat atau benar-benar menghentikan produksi 737 Max.
Terhitung sudah lebih dari empat bulan 737 Max menghadapi larangan terbang global, pasca dua kecelakaan mematikan yang melibatkan jenis pesawat ini dalam waktu yang berdekatan.
Baca Juga
Pada Maret 2019, pesawat Ethiopian Airlines 737 Max nomor penerbangan ET 302 jatuh dalam hitungan menit setelah lepas landas. Hanya berselang sekitar lima bulan sebelumnya, yakni 29 Oktober 2018, pesawat Lion Air dengan tipe sama jatuh di perairan Laut Jawa.
Sejak dua insiden itu, satu demi persatu negara melarang operasional Boeing 737 Max. Kondisi ini mau tak mau berdampak pada kinerja Boeing.
Perusahaan melaporkan kerugian hampir US$3 miliar atau setara dengan sekitar Rp41,9 triliun (kurs tengah Bank Indonesia 25/7/2019, Rp13.986 per dolar AS) pada kuartal II/2019, seperti dilansir dari Reuters. Angka kerugian ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah perusahaan.
“Mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan,” tutur George Ferguson, analis Bloomberg Intelligence.
Memang ada kemungkinan dimulainya kembali operasional 737 Max pada kuartal empat, terutama dengan kerja sama antara pejabat FAA (Federal Aviation Administration) AS dan Boeing untuk memperoleh resolusi.
“[Tapi] jika sesuatu terjadi dan jadi berkepanjangan, mereka tidak bisa terus-terusan memproduksi pesawat,” terang Ferguson.
Pada perdagangan Rabu (24/7/2019), saham Boeing pun ditutup turun 3,1 persen di level US$361,43 di New York, penurunan kedua terbesar dalam indeks Dow Jones Industrial Average.
Saham Boeing telah melorot 14 persen sejak pesawat Ethiopian Airlines 737 Max 8 terjun bebas menghantam daratan Ethiopia dan menewaskan seluruh penumpang beserta awaknya.
“Setelah dua kecelakaan itu, produksi 737 Max dikurangi dari 52 menjadi 42 pesawat per bulan,” ungkap Muilenburg.
Efek dari langkah ini adalah Boeing harus membayar lebih besar untuk suku cadang pesawat ketimbang sebelumnya. Harga suku cadang disesuaikan dengan volume yang dibeli olehnya.
Tertundanya pengiriman pesawat 737 Max yang baru ke maskapai-maskapai penerbangan juga telah memukul cash flow dan margin keuntungan Boeing. Langkah pengurangan produksi pesawat lebih lanjut akan menambah masalah ini.
Menurut Muilenberg, larangan terbang 737 Max dan pengurangan produksi telah mempengaruhi pelanggan Boeing dan kemungkinan akan terus menyebabkan keterlambatan pengiriman pesawat di masa mendatang.
“Saya pribadi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terus menjadi mitra kami dalam perjalanan ini. Kami berterima kasih atas dukungan kalian dan kami akan terus berusaha untuk memperoleh dan mendapatkan kembali kepercayaan dari kalian,” pungkasnya, dikutip dari BBC.