Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pemerintah harus mewaspadai potensi risiko inflasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.
"Ini yang harus kita khawatirkan terjadi di semester ke dua ini," ujarnya kepada Bisnis, Senin (1/1/2019).
Menurutnya, kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik berpotensi dilakukan pemerintah pada semester II/2019 karena melihat postur fiskal saat ini yang kondisinya mulai kurang sehat dengan defisit yang melebar.
"Maka salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah itu adalah menaikkan harga BBM itu, untuk mengurangi beban subsidi energi," ujarnya.
Oleh sebab itu, apabila kebijakan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik benar benar diambil pemerintah, dipastikan dampak bagi inflasi cukup tinggi. "Karena kalau BBM dan listrik naik, bisa membuat ongkos transportasi juga naik, yang pada ujungnya dapat berimbas kepada kenaikan harga pangan," tegasnya.
Menurut Bhima, apabila tarif BBM dan listrik naik, maka dampaknya bisa membuat target laju inflasi tahun ini yang dipasang sebesar 3,5% bisa meleset.
"Tapi itu apabila terjadi penyesuaian BBM. Kalau tidak ada penyesuaian BBM dan listrik, komponen yang harus diwaspadai adalah volatile food dan angkutan udara yang harus jadi konsen utama," ujarnya.
Dirinya melihat kelompok transportasi dari sisi angkutan udara, meskipun Juni mengalami deflasi, ke depan masih berpeluang kembali inflasi. Menurutnya, dari sisi angkutan udara, pembelian pada Juni sedikit menurun, tapi ini sifatnya temporer, karena orang sudah beli tiketnya itu sebulan sebelumnya.
"Jadi Juni wajar kalau terjadi deflasi. Tapi overall harga tiket pesawat itu masih relatif mahal, jadi pascajuni, tiket pesawat tetap bisa mulai menyumbang inflasi lagi," terangnya.
Adapun, BPS mencatat bahwa laju Inflasi Juni 2019 mencapai sebesar 0,55% dengan inflasi tahun kalender 2,05% dan inflasi tahun ke tahun mencapai 3,28%.
Adapun, penyumbang inflasi terbesar didorong oleh kenaikan kelompok pengeluaran, yakni bahan makanan 1,63%, sandang 0,81%, dan makanan jadi minuman rokok dan tembakau 0,59%.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai bahwa inflasi pangan pada Juni 2019 yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, disebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan pergeseran musim panen.
"Bahan makanan, harga pangan bergejolak memang agak tinggi. Tahun ini musimnya enggak bagus," kata Darmin di kantornya, Senin (1/7/2019).
Pihaknya pun bahkan mengakui cukup khawatir dengan laju inflasi tahun kalender (Januari--Juni 2019) yang sudah mencapai 2,05%. "Inflasi inti yang sudah 0,38% ya sedikit tinggilah, karena 12 bulan itu bisa di atas 4%," ujarnya.
Oleh sebab itu, pihaknya memastikan bahwa pemerintah bakal berupaya serius dalam mengendalikan inflasi. Pasalnya, apabila pemerintah tidak berupaya serius untuk mengendalikan inflasi, tingkat inflasi di akhir tahun dapat melebihi 4% alias target yang dipasang pemerintah sekitar 3,5% terancam meleset.
"Artinya, harus ada upaya sungguh-sungguh supaya dia tetap di kisaran 3,5%. Kalau enggak, itu akan di atas 4%," jelasnya.
Oleh sebab itu pihaknya menegaskan bahwa pengendalian inflasi di semester II tahun ini dapat dilakukan mulai sekarang, terutama untuk mengatur komponen harga bergejolak untuk komoditas pangan.
"Harus ada upaya sungguh-sungguh supaya dia tetap di kisaran 3,5%. Kalau enggak, akan di atas 4% itu. [Upaya pengendaliannya?] Ya kita harus lihat. Tapi ini ironisnya kayak harga ayam lagi begitu, ini malah rendah sekali," terangnya.