Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenal Angkutan Udara Perintis, Jurus Tekan Biaya Logistik dan Disparitas Harga

Angkutan udara perintis di Papua menurunkan harga bahan pokok hingga 45%, menghubungkan 164 bandara, dan menekan biaya logistik hingga 12,5% dari PDB.
Ilustrasi angkutan udara perintis./ Dok. Kemenhub
Ilustrasi angkutan udara perintis./ Dok. Kemenhub
Ringkasan Berita
  • Angkutan udara perintis berfungsi menekan biaya logistik dan mengurangi disparitas harga bahan pokok di daerah terpencil seperti Papua.
  • Program ini telah berhasil menghubungkan 164 bandara dan menurunkan harga bahan pokok secara signifikan, seperti cabai dan telur ayam ras di Papua dan Maluku.
  • Kementerian Perhubungan menargetkan penurunan biaya logistik hingga 12,5% dari PDB melalui integrasi transportasi laut dan udara perintis.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Angkutan udara perintis menjadi salah satu solusi dalam menekan biaya logistik yang menjadi penyebab disparitas harga bahan pokok di sejumlah wilayah terpencil dan terluar Indonesia, khususnya daerah Papua.

Angkutan udara perintis pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang (UU) No.1/2009 tentang Penerbangan.

Mengacu Peraturan Menteri Perhubungan No. 8/2021 tentang Perhitungan dan Tata Cara Penetapan Tarif Penumpang Angkutan Udara Perintis, angkutan ini didefinisikan sebagai kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. 

Adapun, program angkutan udara perintis bertujuan untuk pemerataan pembangunan, meningkatkan ekonomi, mempersempit kesenjangan, serta menurunkan disparitas harga. 

Maklum, saat ini pun harga cabai rawit di wilayah Maluku dan Papua berkisar Rp99.000 hingga lebih dari Rp120.000 per kilogram. Berbeda dengan di wilayah Jawa yang harganya bahkan mencapai Rp30.000an per kilogram.

Biasanya, angkutan udara perintis atau dikenal dengan jembatan udara (Jembara) mengangkut bahan pokok, bahan bakar minyak (BBM), LPG, hingga kebutuhan proyek seperti semen.

Sementara tipe pesawat yang digunakan sebagai Jembara ini umumnya adalah Cessna dengan kapasitas penumpang yang terbatas.

Direktur Navigasi Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) Kemenhub Syamsu Rizal menyampaikan bahwa sampai dengan semester I/2025, penyelenggaraan angkutan udara ini telah berdampak positif.

Tercatat Jembara telah menghubungkan 164 bandar udara, 78 lapangan terbang, 27 provinsi, dan 121 kabupaten/kota. Alhasil, konektivitas berdampak positif, yakni terjadi penurunan disparitas harga bahan pokok di wilayah Papua secara signifikan.

“Kalau tempat lain mungkin sudah sangat kompetitif [harganya] artinya logistik baik. Mungkin di daerah yang sifatnya remote, kita kerja sama dengan tol laut, nanti kita teruskan naik [pakai Jembara] misalnya di Papua,” ujar Rizal beberapa waktu lalu.

Rizal menunjukkan bahwa harga cabai di Kab. Nduga, Papua Pegunungan berhasil turun hingga 45% bila pengangkutannya menggunakan Jembara ke level Rp110.000/kg. Berbeda dengan non Jembara yang harganya mencapai Rp200.000/kg.

Begitu pula dengan Kab. Malinau, angkutan udara perintis mampu menurunkan harga telur ayam ras dari Rp160.000/kg menjadi Rp64.000/kg. Sementara harga air mineral di Kab. Pegunungan Bintang turun 62,50% dari sebelumnya Rp320.000/karton menjadi Rp120.000/karton.

Saat ini, terdapat 22 koordinator wilayah (Korwil) dengan rute penumpang perintis sebanyak 266 dan rute kargo perintis sebanyak 46 rute serta 1 rute subsidi angkutan udara kargo.

Tekan Biaya Logistik

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkuat integrasi antarmoda transportasi laut dan udara melalui angkutan perintis untuk menekan biaya logistik.

Rizal menyampaikan bahwa integrasi transportasi dapat mendukung efisiensi logistik. Efisiensi ini akan berdampak pada penurunan biaya logistik dan pada akhirnya menurunkan disparitas harga di berbagai wilayah Indonesia.

"Target kita adalah menurunkan biaya logistik hingga mencapai 12,5% dari Produk Domestik Bruto [PDB]," katanya. 

Dia menuturkan pada 2022, biaya logistik masih 14,29% dari PDB. Pada tahun ini menjadi 13,52% dari PDB, dan targetnya menjadi 12,5% dari PDB pada 2029. 

Ditjen Perhubungan Udara mencatat hingga kini, angkutan udara perintis telah menghubungkan 164 bandara, 78 lapangan terbang, 27 provinsi, dan 121 kabupaten/kota.

Sejak 2011 hingga Juni 2025, angkutan udara perintis telah mengangkut 3.236.977 penumpang. Sementara, sejak 2018 hingga Juni 2025, angkutan udara perintis telah mengangkut 36.262 ton kargo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro